Oleh: Sarah Rosemery Megumi
“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati
Air matanya berlinang, mas intannya terkenang
Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara, merintih dan berdoa..”
Kata “Ibu” dalam syair lagu patriotik yang diciptakan komponis legendaris Ismail Marzuki ini diibaratkan sebagai negara kita Indonesia. Makna yang terkandung di dalamnya mengisyaratkan bahwa kekayaan sumber daya Indonesia telah lama terjajah dan terkuras oleh oknum-oknum kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Lirik lagu ‘Ibu Pertiwi’ merefleksikan sebuah teguran akan dampak kondisi lingkungan Indonesia yang semakin lama semakin memprihatinkan, salah satunya adalah perubahan iklim.
Perubahan iklim yang terjadi di bumi ini bukan lagi sebuah berita hangat yang diperbincangkan. Perubahan iklim telah menjadi tantangan global, dimana dampaknya akan berpengaruh besar terhadap masyarakat di seluruh belahan dunia.
Bagi Indonesia sendiri, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan menjadi negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim, diprediksikan setiap wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur dan intensitas curah hujan. Efek dari prediksi tersebut ialah meningkatnya risiko banjir, sea level rise, maupun kekeringan pada musim kemarau. Ditambah lagi dengan adanya fenomena iklim ekstrim ini maka secara langsung berdampak pada terganggunya mata pencaharian masyarakat, stabilitas ekonomi, gangguan keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2015), umumnya masyarakat yang rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim adalah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, perkotaan dan pulau-pulau kecil. Mereka sangat menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada seperti pada petani dan juga nelayan. Disisi lain, masyarakat miskin, perempuan dan anak-anak juga ikut merasakan dampak negatif fenomena ini.
Pengaruh buruk perubahan iklim terhadap kesehatan manusia telah banyak dikaji dan diteliti oleh para pakar dan ilmuwan di seluruh dunia. Berdasarkan portal depkes.go.id, ada beberapa penyakit yang kejadiannya meningkat akibat perubahan iklim antara lain penyakit yang disebarkan oleh nyamuk seperti demam berdarah, malaria, chikungunya, dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui tikus seperti leptospirosis.
Ada juga penyakit akibat kurangnya ketersediaan air bersih seperti diare dan penyakit kulit. Kemudian peningkatan suhu lingkungan dan polutan dapat mengakibatkan infeksi saluran pernapasan akut, malnutrisi sampai gizi buruk, penyakit jantung, penyakit pernapasan asma, alergi, serta penyakit paru kronik. Selain itu efek negatif dari perubahan iklim juga membawa pengaruh buruk pada segi psikologis manusia.
Bagi kaum perempuan dampak dari perubahan iklim memiliki ancaman tersendiri yang sangat membahayakan bagi kehidupan. Menurut Alston dan Whittenbury (2013) dalam kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2015), jika perubahan iklim tidak dikendalikan, pada tahun 2030 variabilitas iklim akan mengancam ketahanan pangan dan kebutuhan air. Lalu, apa yang menjadi akibat dari ancaman tersebut?
Perempuan lebih rentan
Sekilas berbicara mengenai perempuan, tanpa disadari bahwa perempuan menjadi suatu simbol atau ikon untuk menggambarkan pusat dari kehidupan. Sosok perempuan/wanita sering kali disimbolkan sebagai gambaran bumi atau alam ‘Mother Earth’ atau ‘Mother Nature’ atau kita sebut juga Ibu Pertiwi. Dalam istilah perkapalan juga sosok perempuan merujuk pada sebuah kapal (dengan kata ganti ‘She’ atau ‘Her’). Namun akankah perempuan yang digambarkan sebagai simbol kehidupan ini dapat hidup layak dan aman dari dampak atau efek perubahan iklim?
(Selanjutnya…)