Jakarta (Greeners) – Kasus pertambangan tanpa izin (PETI) di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku semakin memprihatinkan. Setidaknya ada lebih dari 1.000 petambang emas ilegal dinyatakan meninggal akibat tertimbun longsoran material tanah dan dibunuh oleh sesama petambang sejak kegiatan penambangan tradisional tersebut mulai dikerjakan pada November 2011 lalu.
Provinsi Maluku yang menjadi salah satu lumbung pangan dan Lembah Waeapo sebagai sentra produksi beras telah lama dilanda demam berburu emas ilegal. Dikatakan ilegal karena Pemerintah Kabupaten Buru sudah memerintahkan penutupan tambang-tambang emas milik rakyat yang berada di kawasan Gunung Botak dan sekitarnya.
Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Edo Rakhman pun menyatakan bahwa fenomena penambangan rakyat yang dinyatakan ilegal tersebut bukan hanya ada di Kabupaten Buru tapi juga hampir diseluruh tambang rakyat di Indonesia. Pertambangan ilegal ini memiliki model yang sama, yaitu perebutan wilayah, kriminalisasi tinggi dan menimbulkan krisis.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena pemerintah daerah belum mampu mengelola dengan baik penambangan rakyat tersebut. Bahkan, menurutnya, pemerintah mengambil istilah PETI karena pertambangan rakyat tersebut ilegal dalam konteks perijinan tambang. Namun, Edo beranggapan bahwa semua pihak seharusnya memiliki hak yang sama untuk mengelola sumber daya mineral, dan bukan hanya korporasi semata.
“Secara aturan, tentu dimungkinkan kalau memang masyarakat tersebut melakukan penambangan di wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan secara aturan pemerintah wajib memberikan itu (ijin penambangan). Penetapan wilayah pertambangan pun harus melibatkan partisipasi warga dan meminta persetujuan warga,” terang Edo kepada Greeners, Jakarta, Senin (09/02).
Walhi sendiri, terangnya, belum pernah melakukan riset secara spesifik mengenai WPR ini karena pertambangan ini sangat sensitif. Meski demikian, ia menerangkan, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk mengatur soal WPR karena tidak menutup kemungkinan korban jiwa akan bertambah dan kerusakan lingkungan semakin meluas.
Lebih jauh, Edo menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan pertambangan ilegal, diantaranya faktor ekonomi. Banyak warga yang tidak punya lahan untuk bertani atau tidak punya mata pencaharian tetap memilih untuk ikut mengolah tambang rakyat karena hasil yang diperoleh menggiurkan.
“Ini artinya, mereka memilih jalan sejahtera lebih cepat dibanding bertani. Namun sayang, rendahnya pemahaman soal krisis dan resiko aktivitas tersebut, baik soal resiko kecelakaan, kesehatan, kerusakan lingkungan dan bencana ekologis tidak diperhatikan oleh mereka dan juga pemerintah daerah,” katanya.
Manajer Emergency Response Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Ki Bagus Hadi Kusuma kepada Greeners juga mengakui hal yang sama. Ia sangat menyayangkan adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan dibalik ekploitasi emas di Kabupaten Buru yang melibatkan lebih kurang 24 ribu orang penambang.
“Seharusnya Pemerintah Provinsi memberlakukan kembali larangan untuk menambang karena yang terancam tidak hanya para penambang saja namun juga masyarakat yang ada di kawasan kaki gunung dan hilir. Ancaman longsor dan pencemaran juga seharusnya sudah lebih dari cukup bagi pemprov untuk bersikap tegas menutup Gunung Botak bagi pertambangan,” pungkasnya
Seperti diberitakan sebelumnya, di Gunung Botak terdapat ratusan lokasi rawan longsor akibat aktifitas penambangan emas secara tradisional. Meski telah banyak terjadi kasus penambang yang tewas di lokasi penambangan, para petambang tetap saja beraktivitas. Mereka berada di dalam lubang selama berjam-jam, yakni dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat.
Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (Asperi) yang pada Oktober 2012 lalu mulai membuka kantor cabang di Namlea, ibukota Kabupaten Buru, memiliki hitungan tersendiri mengenai potensi emas di Gunung Botak. Ketua Asperi, Andi Ridwan, mengatakan, sejak ditemukan emas setahun sebelumnya hingga Oktober 2012, perputaran uang di tambang emas diperkirakan sudah mencapai Rp 365 triliun. Dalam satu hari, Gunung Botak diperkirakan menghasilkan 2,5 ton emas dengan harga 1 kilogram emas senilai Rp 425 juta.
Dewan adat setempat pun menetapkan ‘uang masuk’ sebesar Rp 525.000 per orang atau per penambang. Setiap bulan ada pula biaya ‘buat lubang’ sebesar Rp 1 juta per orang. Selain itu, sistem bagi hasil emas diterapkan antara penambang dengan pemilik tanah yang lahannya digali untuk lubang tambang.
(G09)