Jakarta (Greeners) – Masyarakat sipil menilai Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur) tak memiliki komitmen penyelamatan lingkungan. Selain menggerus ekosistem, perlindungan terhadap sumber kehidupan masyarakat akan menjadi sangat lemah dan rentan.
Kebijakan yang terbit pada 13 April 2020 tersebut merupakan pengganti Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur. Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan bahwa perpres tersebut akan mengakibatkan pemutihan lahan dalam skala besar, penurunan muka air tanah, dan penghilangan ruang terbuka hijau.
Baca juga: Pemerintah Luncurkan 55 Alat Kesehatan untuk Penanganan Covid-19
Menurutnya, perpres terbaru justru mempercepat perolehan izin meskipun terdapat pembangunan yang belum berizin (Pasal 139). Hal tersebut, kata dia, ibarat mengamini pembangunan tanpa izin ditambah legitimasi Perpres. “Ini sangat berbahaya karena akan mengakibatkan pembangunan masif. Selain itu, menurut pengaturan lain rencana tata ruang wilayah provinsi harus disesuaikan dalam tempo dua tahun,” ujarnya pada konferensi pers daring “Menyikapi Perpres 60/2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur” Jumat, (21/05/2020).
Ia menuturkan, Perpres ini juga tidak memedulikan muka air tanah di kawasan DKI Jakarta yang mengalami penurunan. Hal tersebut, kata dia, terjadi di Kecamatan Cilincing, Kelapa Gading, Koja, Pademangan, Penjaringan, dan Tanjung Priok.
“Pemerintah dalam hal ini Bappenas, Menteri PUPR, dan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi selalu mengatakan bahwa DKI Jakarta mempunyai masalah penurunan muka tanah yang tinggi rata-rata 7,5 cm per tahun. Tapi ketika menyusun Perpres ini sama sekali tidak memerhatikan masalah tersebut,” ujar Elisa.
Sementara itu, di dalam peraturan presiden tersebut, pemerintah juga mencanangkan penghijauan sebatas formalitas. Wilayah yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau, kata dia, justru diperuntukan menjadi permukiman. Selain itu, sektor ekonomi perikanan rakyat di sekitar teluk Jakarta juga dinilai akan hilang, sebab, wilayah perairan tergusur pembangunan. “Kehancuran ekologis akan membuat ekosistem di teluk Jakarta semakin sekarat,” ujarnya.
Parid Ridwanuddin Deputi Pengelolaan Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, perpres ini juga akan menghilangkan sumber kehidupan dan ekonomi nelayan di sekitar teluk Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kata Parid, pernah menyampaikan data kerugian perikanan jika wilayah perairan hilang. Misalnya, hilangnya setiap wilayah perairan seluas 1 hektare menyebabkan kerugian ekonomi nelayan sebesar Rp26 miliar per orang per tahun. Sedangkan total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp137 juta per tahun.
Baca juga: Upaya Surveilans Perlu Diperketat Jika PSBB Dilonggarkan
Kedua, setiap unit usaha budidaya kerang hijau yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian senilai Rp85 juta per unit per tahun. Jumlah unit budidaya kerang hijau tercatat sebesar 1.155 unit sehingga total kerugian mencapai Rp98 juta per tahun.
Ketiga, setiap satu hektare tambak yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian sebesar Rp27 juta per tahun. Luas tambak perikanan di Teluk Jakarta tercatat sebesar 487 hektare sehingga menyebabkan total kerugian sebesar Rp13 per tahun.
“Kontribusi perikanan di Teluk Jakarta amatlah besar. Perpres ini akan menghilangkan ekonomi perikanan yang selama ini terbukti menghidupi banyak orang. Perpres ini juga tidak punya wawasan lingkungan berkelanjutan karena banyaknya beban pembangunan di wilayah Teluk Jakarta,” ujar Parid.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani