Jakarta (Greeners) – Pada 13 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Kebijakan tersebut berkenaan dengan sertifikasi ISPO, kelembagaan, keberterimaan daya saing pasar, dan peran serta pembinaan, pengawasan, maupun sanksi.
Melalui kebijakan ini pemerintah mencoba menyempurnakan penyelenggaraan sistem sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan di Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil). Peraturan yangΒ ada dinilai tidak relevan dengan perkembangan internasional, sehingga perlu direvisi.
Inda Fatinaware Direktur Eksekutif Sawit Watch menyampaikan catatan di dalam perpres ini yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Mengenai keterbukaan informasi publik terhadap proses sertifikasi, misalnya, Inda menilai hasil sertifikasinya masih sangat terbatas. Kementerian Ketenagakerjaan yang menjadi pihak penting bagi buruh petani kelapa sawit juga absen.
Baca juga: Perkebunan Sawit Mulai Rambah Lahan Pangan di Pulau Jawa
Ia menegaskan, pemerintah harusΒ lebih serius menempatkan posisi perkebunan sawit sebagai sektor strategis dalamΒ peraturan ini. Karena hampir 10 juta jiwa pendudukΒ berprofesi sebagai buruh sawit dan bergantung hidup pada sektor ini.
βKami melihat buruh perkebunan sawit telah diakui dan menjadi pertimbanganΒ dalam perpres ini. Namun, Kementerian KetenagakerjaanΒ tidak ditempatkan menjadi pihak yang penting. Hal tersebut tercermin dalamΒ jajaranΒ DewanΒ Pengarah ISPO,β ujar Inda, pada rilis resmi, Rabu (25/03/2020).
Menurutnya, dalam regulasi ini tertuang ajakanΒ untuk turut serta dalam penyelenggaraan sertifikasi. Misalnya dengan memberikanΒ masukan, menyampaikan penyimpangan atau penyalahgunaan,Β serta memperbarui informasi terkini. Namun, kata Inda, keterlibatan masyarakatΒ tidakΒ dijelaskanΒ secara rinci proses dan peran mereka diΒ dalamnya. Selain itu, peluangΒ partisipasi warga sipil dalam unsur keanggotan Komite ISPO juga patut menjadi perhatian.
βKami berharap siapa pun yang akan masuk dalam jajaran komite ini harus sangat paham kondisi lapangan, mengedepankan hak masyarakat kecil seperti petani dan buruh sawit,β kata Inda.
Penyelenggaraan sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia bertujuan untuk memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO. Di dalam perpres juga disebutkan bahwa ISPO meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional, serta meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
βSertifikasi ISPO menurut kami bukan sebuah inovasi perbaikan tata kelola perkebunan sawit. Basis utama dari sistem sertifikasi ISPO adalah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang harus dijalankan oleh perusahaan sawit. Jika implementasi kebijakan dan penegakan hukum ini berjalan dengan baik, pelaksanaan ISPO menjadi kurang relevan,β ujar Inda.
Baca juga: RUU Perkelapasawitan Pro Pengusaha Sawit, LSM Kritik DPR
DenganΒ ditetapkannyaΒ peraturanΒ presidenΒ ini, makaΒ usaha perkebunan sawit yang dikelola perusahaan perkebunan dan/atau pekebun wajib melakukan sertifikasi ISPO sesuai bunyi Pasal 5. Sementara Pasal 6 menyebut bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan kewajiban sertifikasi dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, pemberhentian sementara usaha perkebunan kelapa sawit, pembekuan, hingga pencabutan sertifikat ISPO.
Ketentuan kewajiban sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan berlaku sejak perpresΒ diundangkan. Sedangkan untuk pekebun kewajiban tersebut mulai berlaku lima tahun setelahnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani