Permen Baru ESDM Berpeluang Mempercepat Pensiun Dini PLTU

Reading time: 2 menit
Permen Baru ESDM berpeluang mempercepat pensiun PLTU. Foto: Freepik
Permen Baru ESDM berpeluang mempercepat pensiun PLTU. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Kebijakan ini bisa menjadi payung hukum dan landasan dalam percepatan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, masih perlu untuk mengkritisi sejumlah substansi beleid agar transisi energi tidak berjalan setengah hati.

Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah, Sartika Nur Shalati mengapresiasi penerbitan permen ini. Ia menilai ini sebagai langkah maju transisi energi Indonesia. Namun, sejumlah hal masih menjadi catatan dan perlu perbaikan dari pemerintah. Salah satunya, sebagai peta jalan transisi energi, regulasi ini justru belum merinci total kapasitas dan PLTU mana saja yang akan pensiun lebih cepat.

Permen ini mensyaratkan kajian sebelum menentukan PLTU yang akan pensiun. Kajian tersebut mencakup sejumlah kriteria penilaian, seperti kapasitas dan usia pembangkit, tingkat utilisasi, serta hasil emisi gas rumah kaca. Selain itu, turut mempertimbangkan nilai tambah ekonomi, ketersediaan dukungan pendanaan, dan kesiapan teknologi baik dari dalam maupun luar negeri.

BACA JUGA: Sebaran Potensi Energi Bersih: Tantangan Pengembangan EBT

Penghentian operasi PLTU harus mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan. Selain itu, juga perlu memperhitungkan dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif. Penerapan aspek transisi energi berkeadilan juga menjadi faktor penting dalam keputusan tersebut.

β€œArtinya, pensiun dini PLTU bersifat conditional karena akan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek di atas. Permen ESDM ini seharusnya memuat daftar PLTU yang akan dipensiunkan. Sebab, sudah banyak kajian terkait PLTU yang dapat pensiun lebih awal,” kata Sartika lewat keterangan tertulisnya, Selasa (22/4).

Tak hanya itu, Permen ini sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang memproyeksikan penghentian bertahap (phase down) operasional PLTU. Padahal, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen penghentian menyeluruh (phase out) PLTU dalam 15 tahun atau pada 2040. Artinya, Permen ini tidak mencantumkan tenggat waktu kapan seluruh PLTU berhenti beroperasi.

Perjelas Kriteria

Kriteria dalam kebijakan pensiun dini PLTU dinilai masih belum cukup jelas dan dapat menghambat efektivitas implementasi. Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah, Wicaksono Gitawan, menyoroti pada Pasal 12 beleid. Pada pasal tersebut belum mengatur secara jelas langkah yang akan dilakukan, apabila kajian yang diwajibkan untuk proses percepatan pensiun dini PLTU melebih batas waktu enam bulan.

β€œPadahal, molornya pengerjaan kajian akan berdampak pada keseluruhan proses dan berisiko menunda jadwal penghentian operasi PLTU,” tambahnya.

Selain itu, ia menilai bahwa aspek transisi energi berkeadilan dalam Pasal 11 belum dielaborasi lebih lanjut. Dengan bobot hanya sebesar 10,1 persen, dalam kriteria hasil analytical hierarchy process untuk pemilihan PLTU, pemerintah perlu menjelaskan kerangka transisi energi berkeadilan seperti apa yang mereka gunakan.

Berbagai teknologi transisi energi yang pemerintah pilih dalam Permen ini, juga bertentangan dengan cita-cita pemangkasan emisi. Permen tersebut masih membuka peluang retrofit PLTU dengan berbagai teknologi. Misalnya, pembakaran bersama batu bara dengan biomassa, hidrogen, dan amonia (co-firing) hingga penangkapan karbon (carbon capture and storage atau CCS).

BACA JUGA: Indonesia Akhirnya Resmi Menjadi Anggota International Energy Agency

Langkah tersebut mengindikasikan PLTU masih akan tetap beroperasi dan membakar batu bara hingga 2060. Artinya, tetap akan menghasilkan emisi karbon. Selain itu, secara global, pemasangan CCS pada PLTU batu bara masih sedikit. Sebagian juga berakhir gagal karena tidak dapat menyerap karbon hingga 100 persen.

Menurutnya, dengan tujuan menurunkan gas rumah kaca (GRK), proyeksi sistem ketenagalistrikan dalam Permen No 10 Tahun 2025 masih sama dengan apa yang ada dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, yakni masih mempromosikan solusi palsu.

β€œLangkah ini berisiko bagi Indonesia lantaran berpotensi gagal memangkas emisi dan dapat terjebak dalam dalam krisis iklim yang lebih buruk,” tutur Wicaksono.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top