Jakarta (Greeners) – Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI No. 66/M-DAG/PER/8/2015 yang mengubah beberapa ketentuan dalam Permendag RI No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang memungkinkan pengekspor cukup hanya mengantongi Deklarasi Ekspor (DE) untuk melakukan ekspor tanpa batas waktu semakin terlihat melemahkan peran Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Padahal, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Putera Parthama menyatakan bahwa penerapan SVLK bukan untuk menghambat ekspor produk hasil kayu Indonesia seperti yang dikhawatirkan oleh Kementerian Perdagangan.
Jika SVLK terus dilemahkan, kata Putra, maka rencana pemerintah untuk mendorong penerapan SVLK agar setara dengan lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang telah dilakukan selama bertahun-tahun akan terancam kandas.
“Jika terus dilemahkan, maka SVLK nantinya akan menutup diri pada pasar global kayu legal. Lagi pula, SVLK ini kan bukan regulasi. SVLK ini adalah sistem untuk memastikan pelaku usaha agar menaati hukum yang ada,” jelas Putra di Jakarta, Jumat (02/10).
Terkait ekspor produk industri kehutanan yang menggunakan DE, dia mengungkapkan, selama periode Januari-30 September 2015 mencapai US$ 162,94 juta dengan tujuan 10 negara yakni Amerika Serikat, Korea Selatan, Malaysia, Belanda, Jerman, Australia, Taiwan, Belgia, Tiongkok dan Inggris.
Ekspor terbesar masih ke negara AS yakni US$ 36,65 juta (22,5%), disusul Korea senilai US$ 13,78 juta (8,46%) dan Malaysia US$ 12,56 juta (7,71%), serta Belanda US$ 12,45 juta (7,64%). Sedangkan ekspor menggunakan dokumen V-Legal selama Januari- September 2015 mencapai US$ 1,42 miliar meliputi 15 HS code.
Saat ini, kata Putra, Kementerian Perdagangan tengah merevisi Permendag Nomor 66 Tahun 2015 tersebut. “Iya, tadi pagi kami sudah bahas dan berjalan cukup alot,” terangnya.
Sementara itu, Forest Watch Indonesia (FWI) pun turut mengkritik ketentuan yang tertuang di dalam rancangan Permendag yang baru dan tengah dibahas oleh Kementerian Perdagangan itu. Menurut FWI, isi rancangan Permendag tersebut justru turut memperlemah peran SVLK dengan adanya pengaturan dimana pengekspor tidak diwajibkan berstatus sebagai eksportir terdaftar Produk Industri Kehutanan.
Muhammad Kosar, Pengampanye FWI, menerangkan bahwa dalam rancangan Permendag tersebut, dokumen V-Legal hanya wajib bagi produk kehutanan kelompok A, seperti kayu gergaji atau panel, kertas dan pulp. Sedangkan kelompok B seperti perabotan kayu perkakas dan kayu chip tidak perlu dilengkapi dengan dokumen V-Legal.
“SVLK itu kan merupakan sistem sebagai upaya untuk tata kelola hutan yang lestari. Jika sistem ini hilang atau dilemahkan, tidak ada yang bisa menjamin praktek-praktek pencucian kayu dari industri besar ke industri kecil-menengah tidak akan terjadi. Illegal loging mungkin saja akan kembali marak,” tegasnya.
Senada dengan Kosar, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) pun menyatakan penerapan SVLK akan membantu dalam menembus pasar ekspor produk hasil hutan. Sedangkan penggunaan DE, jelas Direktur Eksekutif Asmindo Lisman Sumardjani, hanya merupakan pintu keluar produk dari Indonesia dan bukan pintu masuk ke pasar ekspor. Dokumen V-Legal lah, tegas Lisman, yang menjadi syarat eksportir untuk menembus pasar Uni-Eropa berdasarkan perjanjian FLEGT VPA.
Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya menyayangkan jika rencana penerapan SVLK yang ditargetkan pada awal 2016 akan diundur lagi atau bahkan dilemahkan karena tuntutan pihak-pihak tertentu.
“Selama ini kami sudah menerapkan SVLK tapi kenapa justru pemerintah yang tidak konsisten dalam menerapkannya?” pungkas Lisman.
Penulis: Danny Kosasih