SÃO PAULO, 19 November 2016 − Kota merupakan pengemiter emisi karbon dan paling terkena dampak, penjahat sekaligus korban.
Hal ini harusnya mendorong partisipasi kota-kota di negosiasi perubahan iklim, menurut laporan khusus yang dipresentasikan oleh Panel untuk Perubahan Iklim dari Brasil (BPCC), saat berlangsungnya konferensi PBB untuk Perubahan Iklim COP22 yang berakhir kemarin di Marrakech, Maroko.
Meskipun isu lingkungan dari Brasil hanya seputaran Amazon dan hutan hujan tropisnya, negara tersebut telah berhasil mentransformasikan dirinya menjadi negara di mana 210 juta populasi tinggal di daerah urban. Angka ini melonjak hingga 90 persen pada tahun 2050.
Laporan terkait dengan kebijakan iklim dan dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur urban dipresentasikan oleh Suzana Khan, presiden BPCC untuk komite saintifik.
Ia mengatakan, “Walaupun mereka tidak terwakilkan pada negosiasi perubahan iklim, namun dampak-dampak [perubahan iklim] juga muncul pada kota-kota. Mereka yang harus bisa beradaptasi karena populasi mendominasi di wilayah perkotaan.”
Peran Mitigasi
Khan mengatakan bahwa perkotaan akan mengkonsumsi setengah dari energi dunia sehingga mereka memiliki peran penting dalam mitigasi emisi gas rumah kaca.
Urbanisasi adalah tren global. Pada tahun 1900, hanya 13 persen dari populasi dunia tinggal di perkotaan. Saat ini, lebih dari setengahnya atau dua pertiga pada tahun 2050, sekitar 5,6 dan 7,1 miliar orang akan tinggal di perkotaan, berdasarkan data PBB tentang urbanisasi dunia yang dikeluarkan pada tahun 2014.
Kenaikan terbesar terjadi di negara-negara berkembang di mana masyarakat akan mendiami perumahan yang tidak direncanakan.
Meski masyarakat urban akan terkena dampak paling besar dari perubahan iklim, perkotaan justru tidak terwakilkan dari negosiasi. Mereka tidak hadir saat Kesepakatan Paris, Desember, tahun lalu dan juga tidak hadir pada COP22 di Marrakech.
Laporan BPCC mengatakan bahwa sudah ada peningkatan masyarakat yang tinggal di daerah dengan risiko tinggi tanpa ijin di Brasil.
Lebih dari tiga juta rumah didirikan di 6,329 daerah perkampungan dan kumuh. Kurang dari setengah populasi tersebut memiliki akses ke sistem pembuangan dan hanya 40 persen dari buangan limbah yang dikelola.
Daerah perkotaan telah mulai mengalami dampak perubahan iklim, dengan meningkatnya gelombang panas dan kejadian ekstrim, seperti banjir dan kekeringan.
Khan mengatakan, “Perubahan iklim semakin intens dan menghadirkan masalah lebih besar kepada kota yang sudah mengalami problem banjir, longsor, dan perserbaran penyakit, seperti demam berdarah, zika, dan chikungunya. Masalah semakin bertambah dengan kurangnya air akibat kekeringan, gelombang panas dan kenaikan muka air laut.”
Curah hujan menurun hingga 22 persen di timur laut Brasil pada tahun 2100 namun, kebalikannya, daerah perkotaan di Brasil sudah mengalami banjir sebesar 37 persen pada tahun 2008 dan 2012.
Laporan tersebut mengatakan bahwa kota-kota di daerah pantai, — 12 kota utama di Brasil terletak di laut — akan mengalami dampak dari kenaikan muka air laut dan badai, yang akan menimpa tidak hanya penghuni tapi juga infrastruktur dan ekosistem.
Persediaan air juga akan terkena dampak mengingat daerah urban merupakan konsumen air terbesar kedua di Brasil, setelah irigasi.
Kejadian ekstrem, seperti curah hujan yang intens dalam jangka waktu pendek akan membawa residu dan kotoran ke persediaan air, dan kurangnya sistem drainase akan memperburuk keadaan bahkan bisa menimbulkan bahaya bagi kemurnian air minum. Kekeringan yang panjang akan mendorong turunnya kualitas air karena kotoran tidak dapat dialirkan.
Hasil dari masalah tersebut dikombinasikan dengan populasi yang membludak, diprediksikan bahwa permintaan air bersih akan meningkat 28 persen pada tahun 2025 dari level tahun 2005, dan akan membutuhkan investasi sebesar tujuh miliar dolar.
Prediksi yang Suram
Menghadapi prediksi yang suram, apakah ada solusi?
Beberapa saran, termasuk mempertahankan hutan dan vegetasi di perkotaan, membangun taman-taman kota untuk meminimalisir dampak banjir, membangun penahan buatan seperti bendungan, rawa dan lahan basah dari kenaikan muka air laut, dan mengubah peraturan konstruksi untuk mengurangi konsumsi energi untuk pemanas dan pendingin ruangan.
Efisiensi air juga perlu dilakukan melalui kapasitas penyimpanan air yang ditingkatkan serta areal tangkapan air musti dipulihkan dan dihijaukan kembali.
Khan mengatakan bahwa peran perkotaan dalam perubahan iklim tidak hanya mengintegrasikan ke dalam rencana aksi Brasil dalam mencapai target Paris tapi harus memiliki tempat dalam negosiasi setara dengan pemerintah nasional.
Pengalaman terbaru menunjukkan bahwa tanpa adanya partisipasi dari berbagai level pemerintahan, perkembangan akan berjalan lambat.
Pada tahun 2009, São Paulo and Rio de Janeiro, dua kota besar di Brasil, membatalkan rencana perubahan iklim karena mereka bergantung kepada aksi nasional, terutama insentif untuk transportasi publik atau peraturan untuk energi. – Climate News Network