Jakarta (Greeners) – Konversi lahan pangan menjadi perkebunan sawit di Pulau Jawa makin meluas. Menurut Keputusan Menteri Pertanian tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2019 luasnya mencapai 14.997 hektar (ha) di Jawa Barat. Perambahan itu pun mulai memasuki wilayah Jawa Timur.
Peneliti Sawit Watch Indonesia Achmad Surambo mengatakan ekspansi sawit tidak hanya terjadi di luar Jawa, tetapi sudah mennyebar ke Pulau Jawa. Ia sangat menyayangkan lahan pangan seperti sawah dan kebun berubah menjadi perkebunan monokultur semacam kelapa sawit.
“Saya kira di Pulau Jawa tanahnya subur, terlalu mewah kalau dibangun sawit. Penyebaran sawit di Jawa Barat terjadi di Pandeglang, Rangkas, Sukabumi, Bogor, Garut. Di Jawa Timur di Blitar, Lalang Jaya, dan Malang bagian selatan,” kata Rambo di Jakarta, Rabu (15/01/2020).
Baca juga: Kebakaran Lahan Gambut dan Sawit Picu Krisis Iklim
Rambo menyebut perubahan fungsi lahan lantaran adanya peluang pasar yang banyak menggunakan sawit. Menurutnya, pemerintah daerah harus turut mengawasi peralihan ini agar tidak meluas ke Pulau Jawa dan mengancam kedaulatan pangan.
“Ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang seharusnya bisa dipakai pemda setempat untuk program merek. Sehingga lahan pangan tidak beralih fungsi lagi dan amanat undang-undang tersebut bisa terimplementasikan dengan baik,” ujarnya.
Sementara, tokoh lingkungan hidup, ahli ekonomi, dan cendekiawan, Profesor Emil Salim, mengatakan penyelamatan tata ruang perlu dilakukan di tingkat kabupaten. Ia menuturkan pemerintah harus menegaskan bahwa lahan diperuntukkan sebagai pertanian bukan permukiman atau perkebunan sawit. “Selamatkan tata ruang untuk pengamanan pertanian Indonesia yang dikomandoi oleh Menteri Pertanian,” ucap Emil.
Sikronisasi Urusan Pangan
Emil juga menyampaikan perlu sinkronisasi antara Kementerian Perdagangan, Badan Urusan Logistik (Bulog), dan Kementerian Pertanian dalam urusan pangan. Kementerian Pertanian, kata Emil, harus mengutamakan produksi dengan mendorong kekuatan ekonomi dalam negeri. Dengan cara ini sektor pertanian Indonesia bisa lebih kompetitif dan tidak bergantung kepada impor.
“Kenaikan impor pangan terjadi karena tiga lembaga tersebut tidak sinkron. Terlebih jika impor naik, stok dari Bulog juga naik. Ini menjadi sulit. Jadi, seharusnya (kementerian) pertanian mengatur produksi, Bulog mengatur distribusi, dan (kementerian) perdagangan mengatur masalah impor,” ujar Emil, di Jakarta, Kamis (16/01/2019).
Baca juga: RUU Perkelapasawitan Dinilai Melanggar Hak Asasi Manusia atas Petani Sawit
Pada 2018, Badan Pusat Statistik mencatat, impor pangan naik kurang lebih dua kali lipat dibandingkan tahun 2014 untuk berbagai jenis pangan. Angka impor beras, misalnya, sebesar 2.253.824.465 kilogram, daging 210.280.174 kilogram, kedelai 2.585.809.099 kilogram, dan krustasea 149.138.749 kilogram.
Adapun Koordinator Nasional Organisasi Indonesia Berseru Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan keadaan pangan Indonesia dalam situasi berbahaya. Karena komoditas pangan termasuk kecil bahkan yang dihasilkan oleh petani Indonesia tidak mencapai 10 persen. “Presiden Jokowi saat ini hanya fokus kepada bagaimana mencukupi konsumsi tapi dari sisi produksi tidak disentuh,” kata Tejo.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani