Jakarta (Greeners) – Perundingan perjanjian plastik global atau Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5) akan berlangsung di Busan, Korea Selatan pada akhir bulan ini. Perjanjian ini perlu diperkuat dengan pengurangan produksi plastik sekali pakai dan solusi guna ulang.
Menurut Greenpeace Indonesia, perjanjian plastik global (global plastic treaty) juga harus memuat target mengurangi produksi polimer plastik primer (PPP). Hal ini juga harus disertai mekanisme finansial yang kuat. Selain itu, perundingan global harus berfokus untuk mendorong solusi sistem penggunaan kembali dan pengisian ulang, serta memastikan pencemar menanggung biayanya.
Menurut Plastic Investment Tracker terbaru, lebih dari 82% dari seluruh investasi swasta dalam sirkularitas plastik secara global disalurkan ke solusi hilir. Total investasi ini mencapai sekitar US$ 155 miliar. Sementara itu, solusi seperti isi ulang dan penggunaan kembali dirancang untuk mengurangi konsumsi plastik. Namun, solusi tersebut hanya menerima alokasi sebesar US$ 8 miliar atau sekitar 4%.
Co-coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Rahyang Nusantara, mengatakan AZWI mendorong pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dan produk bermasalah. Hal itu untuk mencapai pengelolaan sampah berkelanjutan. Selain itu, AZWI juga berfokus pada percepatan adopsi ekosistem guna ulang sebagai solusi utama.
BACA JUGA: Dorong Perjanjian Plastik Gobal untuk Kurangi Sampah Plastik dan Tembakau
“Sebagai bagian dari komitmen global terhadap lingkungan, AZWI menyerukan transparansi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam plastik. Kami juga mendukung transisi industri yang berkeadilan, serta mengadvokasi penghentian impor sampah plastik demi memperkuat pengelolaan sampah domestik,” kata Rahyang di Jakarta, Selasa (19/11).
Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan peta jalan pengurangan sampah untuk periode 2020-2029. Dalam peta jalan ini, produsen wajib untuk menyusun dan mengumpulkan langkah-langkah untuk mencapai target pengurangan sampah sebesar 30% pada tahun 2029.
Menurut Greenpeace, jika Indonesia mengadopsi Global Plastics Treaty, perlu kebijakan yang lebih ambisius dan mengikat. Hal itu untuk berkontribusi pada target pengurangan produksi plastik secara global.
Kebijakan sebagai Aspek Utama
Di samping itu, dalam menerapkan guna ulang atau isi ulang, kebijakan merupakan aspek utama yang perlu pemerintah buat. Menurut Program Lead Enviu Indonesia, Darina Maulana, ketika reuse dan refill tidak berada pada tingkat yang setara–dari segi standar, prioritas, dan komersialisasi–sulit bagi para pemangku kepentingan untuk memberikan prioritas yang berarti.
Saat ini, penggunaan plastik sekali pakai tidak memperhitungkan eksternalitasnya yang terlihat sangat murah, padahal sebenarnya tidak demikian. Menurutnya, saat ini inovasi sudah banyak bermunculan, partisipasi konsumen dan komunitas juga tinggi.
“Mari kita ambil momentum ini, karena Indonesia sudah butuh beyond awareness. Kita butuh solusi pada skala besar agar pengurangan plastik menjadi terjangkau dan berdampak signifikan. Regulasilah yang memiliki kekuatan untuk mewujudkan hal tersebut,” jelas Darina.
Pentingnya Perjanjian Plastik Global
Greenpeace juga menekankan pentingnya perjanjian plastik global untuk mengatasi krisis plastik dari hulu ke hilir. Mereka mendorong empat aspek utama, yaitu penetapan target global untuk pengurangan produksi plastik dan penghentian ekspansi petrochemical. Selain itu, mereka juga mengusulkan target guna ulang (reuse), pelarangan plastik bermasalah dan sekali pakai, serta penerapan prinsip polluters pay dalam pendanaan.
BACA JUGA: Solusi Atasi Sampah Plastik Global Jangan Palsu
Indonesia berperan penting sebagai middle power (anggota G20 dan MIKTA), dengan posisi strategis untuk mendinamisasi diplomasi plastik di ASEAN. Dalam konteks ini, Filipina memimpin dorongan untuk target global, sementara Thailand mendukung kebijakan berbasis solusi hulu.
“Kami berharap Indonesia lebih proaktif melindungi publik dengan mendorong empat hal krusial di atas di dalam Perjanjian Global Plastik,” terang Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara, Rayhan Dudayev.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia