Jakarta (Greeners) – Gambut adalah salah satu lahan basah yang penting bagi dunia. Menurut laman Wetlands International-Program Indonesia, luas lahan gambut di seluruh Indonesia berjumlah 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan. Adapun catatan dari Rencana Aksi Lahan Basah tahun 2004, luas lahan basah di seluruh penjuru Indonesia sekitar 54 juta hektar.
Lahan basah, mengacu pada Konvensi Ramsar tahun 1971, diklasifikasikan menjadi rawa, gambut, danau, sungai, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang serta lingkungan laut dengan kedalaman maksimum enam meter pada surut terendah. Kawasan ini penting karena menjadi ekosistem yang paling produktif di dunia serta merupakan habitat bagi ribuan keanekaragaman hayati.
“Lahan basah menyediakan banyak penghidupan bagi manusia. Mulai dari pertanian, perikanan, pariwisata, transportasi, dan penyedia air,” ujar Direktur Program Tropical Forest Conservation Actio-Sumatera (TFCA-Sumatera) Samedi seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Senin (01/02).
Rawa Tripa, kata Samedi, merupakan sebuah kawasan gambut di Aceh yang menjadi bukti bahwa konservasi gambut mampu memberi manfaat bagi warga sekitar. TFCA-Sumatera, sebuah program yang dikelola oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) untuk konservasi hutan Sumatera, telah berhasil meredakan kebakaran berulang di hutan yang sudah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dengan teknik cannal blocking (membendung saluran drainase untuk menaikkan muka air).
Sebagai contoh, lanjutnya, dalam waktu kurang dari satu tahun, permukaan air lahan gambut telah naik, dan pada saat kawasan lain terjadi kebakaran, kawasan Rawa Tripa yang biasanya mengalami kebakaran, pada tahun ini tidak terjadi.
Menurut Samedi, hingga saat ini, belum ada pembaruan data terkini tentang status lahan basah di Indonesia. Sedangkan berdasarkan Gaps Analysis (on ecological representativeness and management of protected areas) tahun 2010, terangnya, dari sekitar 750 ribu hektar mangrove di Sumatera, sekitar 28 persen ekosistem mangrove telah terbuka (rusak).
“Perlu diketahui bahwa Indonesia menduduki tempat pertama di dunia untuk luas ekosistem mangrove. Ekosistem lahan basah lainnya, yaitu gambut, dari luas total gambut di Sumatra yaitu 7,2 juta hektar, sebesar 23 persen telah mengalami kerusakan. Untuk hutan rawa, sekitar 52 persen telah mengalami kerusakan. Data tersebut baru di Sumatera, belum di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua,” tutur Samedi.
Samedi menyatakan bahwa dengan merestorasi lahan basah yang terabaikan bisa memberi peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Di Rawa Tripa dengan menggunakan teknik cannal blocking, kini beberapa areal gambut sudah bisa dikembangkan menjadi perikanan rawa gambut. Model koeksistensi antara konservasi dan pemanfaatan ekonomi diharapkan bisa menjaga harmonisasi hubungan yang menguntungkan antara ekosistem lahan basah dan manusia yang tinggal di sekitarnya.
Inisiatif di tingkat masyarakat tersebut, menurut Samedi perlu diperkuat dari level yang lebih tinggi. Contohnya adalah dengan penetapan rencana tata ruang wilayah yang menempatkan mangrove dan gambut sebagai kawasan lindung. Pada Maret 2015 lalu, sebagian wilayah di Rawa Tripa, sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Gambut, dalam kondisi alami adalah penyimpan karbon. Tetapi jika diganggu seperti kebakaran, lahan gambut justru menjadi sumber emisi karbon yang beracun dan gas rumah kaca lainnya. Adapun mangrove sangat signifikan untuk menahan abrasi, intrusi air laut, dan sumber pendapatan masyarakat dari perikanan.
Sebagai informasi, setiap tanggal 2 Februari, dunia memperingati apa yang dinamakan Hari Lahan Basah Dunia sesuai dengan tanggal lahirnya Konvensi Ramsar di Iran. Tahun ini tema yang diambil adalah Wetlands for our Future: Sustainable livelihoods. Tema ini merujuk pada pentingnya peran lahan basah bagi manusia, khususnya dalam pencapaian target pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Penulis: Danny Kosasih