Jakarta (Greeners) – Di Indonesia, nelayan skala kecil dikategorikan dengan ukuran kapal ikan di bawah 5 gross ton. Maka di tahun 2014, hampir 90 persen dari total 634 ribu kapal ikan Indonesia masuk kategori nelayan kecil. Perikanan skala kecil diperkirakan telah menyerap sedikitnya 8 juta tenaga kerja pada kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mengatakan, nelayan skala kecil memasok sekurang-kurangnya 60 persen dari total produksi perikanan nasional, dan bersama-sama dengan hasil produksi perikanan budidaya digunakan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan rakyat Indonesia yang saat ini telah mencapai lebih dari 35 kilogram per kapita per tahunnya. Lalu, menjaga suplai kebutuhan bahan baku industri dalam negeri.
“Bahkan, tidak sedikit di antaranya untuk keperluan ekspor ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Hongkong, China, dan negara-negara tetangga,” jelasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Rabu (09/12).
Riza menyatakan, nelayan skala kecil juga menjadi subjek penting menjaga kelestarian sumber daya ikan melalui berbagai pengetahuan lokalnya. Skema “konservasi” ala masyarakat ini telah terbukti ramah secara sosial, ekologi, dan ekonomi, seperti Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Manee’ di Sulawesi Selatan, dan Panglima Laot di Aceh.
Namun, kesemua potensi dan konstribusi positif perikanan skala kecil tersebut tengah terancam oleh sederet persoalan yang akhir-akhir ini berkedok proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebagai contoh, untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, maka dipromosikan penggunaan biofuel sebagai sumber energi alternatif, termasuk dari minyak sawit.
Pada perkembangannya tidak sedikit ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia telah dikonversi untuk memenuhi kebutuhan pasar global biofuel. Di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, sedikitnya 16 ribu hektar hutan mangrove telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, sekitar 17 ribu nelayan dan masyarakat pesisir terganggu ruang hidup dan penghidupannya.
“Di sini, kami KNTI bersama sejumlah organisasi dan pemerintah daerah tengah melakukan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi ekologis ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan dan pemeliharaan ikan, serta mencegah meluasnya sedimentasi dan abrasi pantai,” tegasnya lagi.
Bahkan, ancaman naiknya muka air laut yang kerap diasosiasikan sebagai dampak perubahan iklim justru digunakan untuk memperluas pembangunan kota-kota pantai dengan reklamasi. Di Teluk Jakarta, proyek reklamasi dengan membangun 17 pulau baru membutuhkan lebih dari 3,3 miliar meter kubik pasir yang diambil dari daerah lain.
Akibat reklamasi ini, terusnya, sekitar 16 ribu nelayan berpotensi terganggu penghidupannya, ekosistem pesisir hancur, bahkan persoalan utama terkait penghentian pencemaran di Teluk Jakarta oleh berbagai perusahaan nyaris tidak lagi menjadi perhatian. Proyek reklamasi pantai serupa tengah terjadi dan mendapati perlawanan dibanyak tempat di Indonesia, seperti di Teluk Benoa, Bali, dan pesisir Makassar, Sulawesi Selatan.
Kondisi kontraproduktif semacam ini juga terjadi dalam hal strategi dunia memerangi pencurian ikan dan proyek perluasan konservasi laut. Satu sisi, instrumen dunia untuk mendukung pemberantasan pencurian ikan terus bertambah, tetapi perdagangan ikan hasil curian dari perairan Indonesia dan perairan lainnya masih terus berlangsung.
“Sama halnya mobilisasi pembiayaan dari Bank Dunia, ADB, GEF, USAID dan lainnya untuk kegiatan konservasi laut terus bergulir. Tetapi, sanksi global terhadap perusaha-perusahaan yang merusak lingkungan dan mencemari laut justru tidak semakin kuat. Sebaliknya, korporasi multinasional semacam Newmont dan Freeport semakin berani mengancam bahkan menggugat negara berdaulat seperti Indonesia ke arbitrase internasional,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih