Jakarta (Greeners) – Pergeseran nilai adat di masyarakat dayak, Kalimantan, dinilai turut memengaruhi populasi burung rangkong gading di alam. Bernama ilmiah Rhinoplax vigil, burung enggang ini dipercaya sebagai simbol keberanian, pelindung, dan jembatan antara roh leluhur dengan masyarakat adat. Namun, modernisasi dan globalisasi dianggap menimbulkan pergeseran nilai kesakralan sehingga mengancam keberadaan spesies tersebut.
Yokyok “Yoki” Hadiprakasa, pendiri Lembaga Rangkong Indonesia menyampaikan, pergeseran nilai budaya tersebut dilihat dari penggunaan bulu hingga paruh burung rangkong gading secara leluasa. “Dulu yang memakai ornamen rangkong gading ini tidak sembarang orang, hanya orang tertentu seperti dukun. Tapi karena ada pergeseran pada akhirnya menjadi komersial yang membuat rangkong gading semakin terancam,” ujar Yoki, dalam acara daring “Upaya Konservasi Rangkong Gading di Kapuas Hulu”, Rabu, (24/06/2020).
Baca juga: Menjaga Benteng Terakhir Hutan Indonesia
Ancaman perburuan dan perdagangan burung rangkong juga masih terjadi sampai saat ini. Perburuan umumnya mengincar cula atau balung untuk dijadikan berbagai bentuk hiasan. Investigasi Rangkong Indonesia dan Yayasan Titian mencatat, selama 2013 sekitar 6.000 burung rangkong gading dewasa dibunuh di Kalimantan Barat untuk diambil kepalanya. Selanjutnya pada 2015, sebanyak 2.343 paruh burung telah disita dari perdagangan gelap. Permintaan terbesar diketahui berasal dari China.
Bersama timnya, Yoki juga melakukan survei terhadap 513 orang di 10 desa di Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Riset tersebut untuk mengetahui pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai burung rangkong gading.
Hasil survei mencatat bahwa 52 persen responden pernah berburu rangkong. Pelaku perburuan didominasi oleh penduduk setempat dengan persentase 57 persen. Sedangkan 25 persen di antaranya dilakukan oleh orang luar atau pendatang, 11 persen pelaku adalah individu dari kampung tetangga, dan 7 persen sisanya tidak diketahui.
“Maraknya perdagangan dan perburuan diawali oleh pedagang kelontong keliling yang datang ke kampung untuk menanyakan rangkong gading,” ujarnya.
Menurut Yoki, nilai-nilai adat semestinya menjadi pembangkit untuk menjaga relasi antara manusia dan alam agar tetap seimbang. Apalagi paradigma hutan adat, kata dia, secara nasional sudah menjadi agenda di segala kebijakan nasional maupun internasional.
Ancaman Karhutla Bagi Rangkong Gading
Selain minimnya upaya konservasi dan maraknya perburuan, burung rangkong gading juga sangat terancam oleh hilangnya hutan sebagai habitat utama. Kebakaran hutan dan lahan yang sering melanda tempat tinggal para satwa juga harus menjadi perhatian pemerintah maupun lembaga konservasi.
Ani Mardiastuti, Guru Besar Bidang Konservasi IPB University menyampaikan kebakaran hutan dan lahan sering kali menimpa pohon-pohon besar yang sudah tua, kering, dan rapuh. Hal tersebut berimbas terhadap sumber pakan makhluk hidup seperti burung rangkong. Padahal menanam dan menghasilkan pohon besar tersebut memerlukan waktu yang sangat lama
Di alam, makanan utama burung rangkong gading sangat spesifik, yakni berupa buah beringin (Ficus sp.) berukuran besar. Hanya hutan sehat yang dapat menyediakan pakan ini dalam jumlah banyak sepanjang tahun. “Pohon-pohon besar tersebut pasti sering kali ikut terbakar duluan. Akhirnya satwa kehilangan pakan dan mencari sumber di ladang-ladang masyarakat dan ada konflik,” ujarnya.
Baca juga: 29 Kawasan Pariwisata Konservasi Siap Dibuka
Di akhir 2015, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menaikkan status burung rangkong gading dari hampir terancam (near threatened) menjadi terancam punah (critically endangered) atau satu tahap menuju kepunahan. Sementara Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) mencatat burung ini dalam daftar Appendiks I atau terancam dari segala bentuk perdagangan.
Dari total 32 jenis burung enggang di Asia, hampir setengahnya berada di Indonesia dan tiga jenis di antaranya bersifat endemis. Untuk itu, Indonesia menjadi negara terpenting dalam perlindungan populasi rangkong di Asia.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani