Jakarta (Greeners) – Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki sejarah hingga kelas dunia. Letusannya yang luar biasa pada tanggal 11 April 1815 silam membuat dunia terbelalak akan erupsi maha dahsyat Gunung Tambora. Menjelang dua abad meletusnya Gunung Tambora, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo akan meresmikan Gunung Tambora sebagai Taman Nasional pada tanggal 11 Apri 2015 mendatang.
Berkaitan dengan peresmian tersebut, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) memandang bahwa Taman Nasional harus dilihat sebagai bagian dari tata kelola hutan di Indonesia dan tata kelola hutan yang baik adalah tata kelola yang tidak ada konflik dengan masyarakat. Namun kenyataan di lapangan, banyak sekali konflik yang terjadi di wilayah hutan Indonesia, tidak terkecuali dengan Taman Nasional.
Manajer Kampanye Walhi Nasional, Edo Rakhman mengatakan bahwa Tambora sangat kental dengan sejarah panjang di NTB dan ini mungkin salah satu faktor yang mendorong pemerintah untuk menaikkan level Tambora menjadi Taman Nasional. Namun, tambahnya, penting untuk dipikirkan jika setelah Gunung Tambora ditetapkan menjadi Taman Nasional, akses masyarakat atas sumber-sumber kehidupannya tidak menjadi tertutup.
“Bagaimanapun, kedekatan masyarakat dengan Tambora bukan hanya sekadar kedekatan sumber kehidupan tetapi kedekatan kultur dan budaya juga terdapat disitu. Meletusnya Tambora 200 tahun lalu adalah sejarah yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat,” jelas Edo kepada Greeners, Jakarta, Jumat (03/04).
Senada dengan Edo, Sekretaris Jendral (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan juga menyatakan bahwa jika dilihat secara umum, Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia masih kurang bagus atau jauh dari kata baik. Masih banyaknya kasus penebangan hutan dan konflik yang terjadi pada masyarakat adat di wilayah Taman Nasional, menurutnya, memperlihatkan kualitas pemerintah dalam mengelola Taman Nasional masih buruk.
Masyarakat adat, lanjutnya, saat ini masih menjadi korban dari pola represif yang dilakukan pemerintah, padaha pola tersebut menjadi sumber konflik antara pemerintah dan masyarakat adat. Menurut Abdon, masyarakat adat selama ini hanya menjadi penonton dalam upaya konservasi Taman Nasional. Padahal, seharusnya pemerintah bisa bekerjasama bersama masyarakat adat dalam mengelola dan menjaga kelestarian Taman Nasional.
“Sistem konservasi berbasis hak seharusnya menjadi prioritas. Tidak bisa masyarakat adat diusir seenaknya hanya karena fungsi Taman Nasional membuat mereka jadi tergusur,” tegasnya.
Menurut Abdon, seharusnya Taman Nasional di seluruh Indonesia dirancang ulang atau dibangun kembali bersama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada di dalam dan di sekitar Taman Nasional. Hal ini harus segera dilakukan untuk mengurangi konflik dan mengefektifkan manajemen kawasan yang sedang berjalan saat ini.
Sebagai informasi, berdasarkan UU No 5 Tahun 1990, Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Kawasan Tambora sendiri memiliki luas 71.645,74 hektare yang diisi oleh kawasan cagar alam seluas 23.840,81 hekatare, suaka margasatwa seluas 21.674,68 hektare, dan taman burung seluas 26.130,25 hektare.
Penulis: Danny Kosasih