Jakarta (Greeners) – Emansipasi wanita ternyata memang bukan hanya monopoli masyarakat di kota-kota besar saja. Di daerah-daerah adat atau bahkan yang terpencil sekalipun, para wanita mampu memperlihatkan keberanian dan kegigihannya dalam membela hak-hak asasi maupun tanah kelahiran mereka.
Seperti yang diutarakan oleh Suryati Simanjuntak, Sekretaris Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) saat berbincang dengan Greeners di acara peluncuran film pendek Silent Heroes yang digagas oleh Greenpeace di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (22/08).
Suryati bercerita, bahwa dalam beberapa advokasi tentang sengketa lahan adat di Sumatera Utara yang pernah dia lakukan, hampir sebagian besar para kaum Ibu yang berani melawan dan bertahan menghadapi perusahaan-perusahaan besar yang ingin merampas tanah adat mereka.
“Iya, itu anehnya. Semuanya perempuan yang berani melawan, para laki-lakinya itu mudah sekali dirayu dengan tuak (minuman keras khas Sumatera) dan uang,” terang Suryati.
Bahkan, lanjut Suryati, jika sedang ingin mengadakan rapat adat untuk membahas permasalahan yang terjadi seperti penangkapan warga oleh polisi atau apapun itu, Suryati mengaku bahwa rapat tidak akan pernah mulai jika kaum Ibu masih belum ada yang datang.
“Mereka bilang harus menunggu perempuannya baru rapat akan mulai karena nanti yang aksi kan perempuan-perempuannya,” tambah Suryati sembari tertawa.
Senada dengan Suryati, Maria dari Kelompok Pecinta Alam Tunas Hijau juga bercerita hal yang sama. Saat ini dirinya sedang mengadvokasi masyarakat adat di pulau Bangka yang terancam akan rusak kekayaan alam lautnya serta hilangya mata pencaharian sebagai nelayan akibat aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT Mikgro Metal Perdana (MMP).
“Disana, perempuan-perempuan sampai demo bertelanjang agar aspirasi mereka mau didengar, sedangkan laki-lakinya hanya segelintir yang berani melawan,” tutupnya.
(G09)