Plastik sekali pakai masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh semua negara, termasuk di Indonesia. Guna ulang (reuse) merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengurangi sampah plastik. Pebisnis perempuan punya peran penting untuk mewujudkan solusi ini. Mereka bak pionir yang memberikan optimisme terhadap perubahan kebiasaan masyarakat untuk beralih menerapkan sistem guna ulang di era kepraktisan.
Jakarta (Greeners) – Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang serba praktis menjadi faktor penggunaan plastik sekali pakai belum bisa dihindari. Padahal, penggunaannya hanya satu kali dalam waktu yang begitu singkat. Namun, dampaknya akan berujung menjadi sampah yang sulit terurai hingga menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.
Sachet dan pouch merupakan kedua jenis plastik yang masih banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, karena mudah terjangkau dan harganya murah. Namun, kepraktisan itu tidak sebanding dengan dampak negatif yang bisa mengancam kehidupan planet bumi.
Indonesia perlu menerapkan solusi untuk mengatasi permasalahan plastik sekali pakai. Berdasarkan kajian dari Global Plastics Policy Centre (2023), sistem atau solusi guna ulang terbukti merupakan solusi yang paling efektif, efisien, serta memiliki konsekuensi lingkungan yang jauh lebih rendah daripada daur ulang.
Menurut kajian tersebut, sistem guna ulang juga dapat mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 32% dan menggunakan lebih sedikit konsumsi air dalam prosesnya dibandingkan dengan daur ulang. Dalam sistem ekonomi sirkular, guna ulang adalah aspek yang penting karena tidak membutuhkan bahan baku baru, tidak menghasilkan residu, dan juga dapat berpotensi meningkatkan lapangan pekerjaan hijau di Indonesia.
Perlahan Masyarakat Bisa Beralih ke Guna Ulang
Sistem guna ulang adalah sistem di mana produk dikirim menggunakan kemasan yang dipinjamkan kepada konsumen. Kemasan tetap berada dalam kepemilikan sistem, sehingga oleh sistem, kemasan tersebut dirotasi untuk penggunaan ulang berkali-kali.
Namun, dalam roda kehidupan di era serba praktis ini, kebiasaan pola konsumsi untuk beralih menggunakan kemasan guna ulang tampaknya masih rumit. Namun, bagi seorang perempuan pebisnis guna ulang, Darina Maulana meyakini kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menggunakan plastik sekali pakai perlahan-lahan akan berubah. Inovasi dan fasilitas yang implementatif dapat memberikan akses yang nyata untuk mendorong masyarakat menerapkan guna ulang.
Apalagi, praktik guna ulang bukan hal yang baru di Indonesia. Masyarakat sudah familiar dengan praktik ini dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya, tukar kemasan galon dan gas, isi ulang produk curah, membeli jamu dengan gelas guna ulang, atau membeli bakso menggunakan mangkok ayam.
Namun, praktik guna ulang saat ini perlu bertransformasi menjadi sistem guna ulang yang lebih modern. Misalnya, penjualan produk rumah tangga seperti sampo, sabun, pembersih lantai, dan pengharum pakaian dengan kemasan guna ulang. Sistem guna ulang ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi sampah sekaligus menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.
Tuangkan Ide Solusi Guna Ulang
Sebagai seorang perempuan yang berkarier dalam dunia lingkungan lebih dari 8 tahun, saat ini Darina menjadi Program Lead Enviu Indonesia. Ia memegang amanat untuk memimpin studio wirausaha perintis (startup) dengan model bisnis reuse dan refill.
Enviu merupakan perusahaan ventures builders (pembangun usaha) berbasis di Rotterdam, Belanda yang telah berdiri sejak 20 tahun lalu. Dalam visinya, Enviu berfokus di bidang sosial dan lingkungan untuk mewujudkan paradigma konsumsi yang lebih berkelanjutan dan menjadikan sirkularitas sebagai jantung perekonomian. Di Indonesia, tahun 2024 ini Enviu memasuki tahun kelima berjalan.
Peran Darina begitu penting dalam mendorong bisnis guna ulang dan isi ulang di Indonesia. Seluruh ide bersama tim rekan venture builder-nya terus dituangkan untuk membangkitkan gerakan guna ulang lebih bersinar kembali.
Mengenyam Pendidikan Tinggi
Bertempat di kantornya di Kemang, Jakarta Selatan, Darina meluangkan waktunya untuk menceritakan perjuangannya sebagai pebisnis perempuan. Ia bercerita, sebelum ia menjadi seorang pebisnis, ia melanjutkan pendidikan sarjana dan pascasarjana di Institut Teknologi Bandung (S2) jurusan Design for Sustainable Behavior. Kemudian, ia ikut program dari kedutaan Belanda untuk melaksanakan project sekaligus penelitian di Eindhoven.
“Setelah itu, aku bangun startup sama temen aku, bantuin dia, namanya Tech Prom Lab. Lalu, kedutaan Belanda mempertemukan aku sama Enviu. Mereka mau buka perusahaan di Indonesia. Tahun 2020 aku masuk Enviu sebagai venture builder. Selama 2,5 tahun bangun QYOS refill bersama enviu, dan sekarang hampir 2,5 tahun aku jadi Program Lead Indonesia bareng bersama lead dari Belanda, Eline Leising, my women empowerement mentor juga,” tutur Darina.
Di sisi lain, Darina memiliki alasan tersendiri untuk bisa tertarik berkecimpung dalam dunia lingkungan. Ia terinspirasi dari neneknya yang menjadi aktivis. Ia merasa energi sang nenek perlu ia teruskan.
Darina ingin melanjutkan apa yang neneknya lakukan di masa mudanya di UNDP pada zaman pasca-kemerdekaan untuk bertanggung jawab. Ia memandang saat ini dunia sudah banyak terjadi kerusakan lingkungan dan Darina bertekad untuk mencoba berbagai hal yang tidak lagi merusak. Sehingga, prinsip itu terbawa sampai ia berkecimpung di dalam dunia bisnis.
“Perempuan secara strata sosial masih banyak stigma, sekarang buminya dirusak dengan cara konsumsi extreme kapitalis saat ini. Hal ini juga berpengaruh pada mental perempuan. Jadi, kerja di bidang lingkungan itu, ya, sosial banget juga.”
Ilmu Menjadi Bekal
Ilmu yang ia emban ketika di Belanda dan di ITB juga menginspirasi kegiatannya saat ini. Sejauh apapun Darina melangkah untuk melanjutkan sekolahnya, ia pun kembali ke ibu pertiwi. Sejak tahun 2020, ia menjadi sosok perempuan yang dipercayai untuk memimpin bisnis yang sirkular di Indonesia.
Memiliki bekal sebagai lulusan Master Design for Sustainable Behavior, Darina memanfaatkan ilmunya untuk terus melanjutkan daya juangnya dalam bisnis sirkular ini.
Tahun 2017 menjadi tahun pertama bagi Darina untuk memulai bisnis tersebut di Indonesia dan bergabung di Enviu tahun 2020. Prosesnya sangatlah panjang. Tetapi, dengan ketekunannya, kini ia berhasil menggerakkan tujuh venture builder atau para pembangun usaha startup yang bergerak dalam refill dan reuse.
Perempuan Membawa Inspirasi Guna Ulang
Di balik kiprah Darina dalam mendorong guna ulang, tentu sistem guna ulang tidak lekang oleh waktu. Sistem guna ulang sangat erat kaitannya dengan budaya Indonesia dan familiar, baik bagi penjual maupun pembeli.
Profesi penjual jamu atau yang biasa disebut dengan ‘mbok jamu’ identik digeluti oleh kaum perempuan, merupakan contoh nyata bagaimana sistem guna ulang sudah diterapkan sejak lama. Mereka berkeliling sambil membawa gelas guna ulang dengan beberapa ramuan jamunya. Saat konsumen membeli, penjual jamu akan menggunakan gelas guna ulang yang dapat digunakan berkali-kali tanpa menimbulkan sampah.
“Dari mbok jamu, pemilik warung sampai arisan ibu-ibu, semuanya dahulu menerapkan guna ulang untuk dirinya sendiri, keluarganya, dan usahanya. Bisnis guna ulang modern terinspirasi oleh perempuan-perempuan kuat dan berambisi membawa kembali norma budaya tersebut ke dalam kehidupan modern Indonesia.”
– Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira –
Darina sepakat bahwa perempuan adalah penggerak sistem guna ulang yang sangat menginspirasi. Baginya, perempuan berperan penting dalam mendorong revolusi guna ulang.
Ia mengatakan, ibu-ibu yang ada di warung, bank sampah, PKK, pengajian, dan arisan banyak membantunya ketika menerapkan pendekatan sistem guna ulang kepada masyarakat. Demikian pula, komunitas bank sampah yang digerakkan oleh perempuan yang sebagian besar ibu rumah tangga dapat menjadi kunci untuk membantu memutarkan roda bisnisnya.
“Ini seperti mengembalikan sistem guna ulang yang sebenarnya sangat dekat dalam budaya Indonesia. Terlebih lagi, dengan program “Gerakan Guna Ulang Jakarta” yang Enviu kolaborasikan dengan Dietplastik untuk membangun ekosistem guna ulang di Jakarta, sangat membantu untuk menjadi strategi dalam melihat potensi inovasi untuk mendukung regulasi guna ulang dalam level implementasi di kota bersama operator guna ulang lainnya, sampai regulasi umum di kementerian dan lembaga lainnya,” ujar Darina.
Penuh Perjuangan dalam Mengenalkan Guna Ulang
Bagi Darina, untuk memperkenalkan sistem guna ulang ke masyarakat tidaklah mudah. Jalannya berliku dan perlu banyak perjuangan. Namun, dirinya memiliki banyak harapan.
Tantangan pun tidak pernah luput dari perjalanan bisnisnya. Terutama, ketika memperkenalkan sistem guna ulang yang lebih modern kepada masyarakat. Meskipun sistem yang dapat digunakan kembali sudah ada sejak lama, namun masyarakat masih belum familiar dengan produk-produk rumah tangga seperti sampo, sabun, pembersih lantai, pengharum pakaian, dan produk lainnya yang dijual dengan sistem guna ulang.
“Kalau saya jelaskan ke calon pelanggan tentang reuse selama satu jam dan saya jelaskan contohnya seperti isi ulang galon, tapi mereka tetap menganggap sistemnya seperti daur ulang. Mereka bertanya ‘furniturnya jadi seperti apa?’, jadi calon konsumen ini memikirnya masih sama seperti daur ulang, tapi wajar karena mungkin daur ulang sudah jauh lebih lama tersosialisasikan,” jelasnya.
Padahal, guna ulang dan daur ulang merupakan sebuah konsep yang berbeda, namun komplementer karena merupakan ujung tombak dari value chain produk, di mana guna ulang adalah hulu, sebelum penjualan dan konsumsi dan daur ulang adalah hilir pascakonsumsi.
Daur ulang merupakan proses di mana sampah menjadi bahan atau barang yang bisa digunakan lagi. Contohnya, kemasan tutup botol air mineral dihancurkan kemudian diubah menjadi sebuah kursi. Sementara, guna ulang merupakan penggunaan suatu barang lebih dari satu kali seperti menggunakan botol tumbler yang bisa dipakai untuk minum berkali-kali.
Tantangan saat berkomunikasi kepada banyak calon pelanggan yang memiliki beragam latar belakang menjadi tantangan baginya. Namun, semangat itu tak pernah padam. Darina bersama timnya terus mencari celah untuk bisa memberi pemahaman kepada para calon pelanggannya.
Produk Guna Ulang Tembus ke Pasaran
Ada banyak usaha rintisan yang Enviu Indonesia bantu dorong mulai dari bidang kuliner, seperti Allas, layanan pengemasan pengembalian pertama di Indonesia yang bertujuan untuk mengurangi dan mencegah sampah kemasan makanan sekali pakai. Selanjutnya, adapula Qyos, sebuah usaha yang menyediakan vending machine isi ulang untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari kepada konsumen.
Alner juga merupakan salah satu startup di bawah naungan Enviu Indonesia yang Darina kembangkan bersama venture builder Enviu yang sekarang merupakan Co-Founder dan CEO Alner, Bintang Ekananda. Kini, Alner menjadi salah satu usaha guna ulang yang sedang naik daun dan mulai banyak peminat.
Alner merupakan sebuah usaha kemasan alternatif guna ulang yang menyediakan kebutuhan rumah tangga seperti sampo, sabun, pewangi pakaian, pembersih lantai, dan produk lainnya. Bahkan, mereka juga menjual produk kebutuhan dapur seperti kecap, beras, saus dengan kemasan guna ulang. Penjualan produk Alner kini telah menembus pasaran seperti di online channel seperti e-commerce, website dan Whats App serta offline di warung dan bank sampah di Jabodetabek.
Sementara itu, melihat data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2022, sachet menduduki urutan pertama sebagai sampah plastik dari sektor pengemasan sebesar 57%.
Dengan terobosan ini, total mitra yang bekerja sama dengan Alner di wilayah Jabodetabek telah mencapai 650+ mitra. Secara tidak langsung, Alner dapat memberikan pilihan kepada masyarakat untuk beralih menggunakan kembali dan meninggalkan kemasan sachet. Oleh karena itu, jika masyarakat dapat terus memakai kemasan guna ulang, maka sampah plastik dapat berkurang secara perlahan.
Darina mengungkapkan, masyarakat Indonesia sangat tertarik untuk mendukung sistem guna ulang. Tercatat 60-70% pelanggan Alner mengembalikan kemasan produk guna ulang saat pemakaian produk sudah habis. Angka tersebut membuktikan bahwa jika fasilitas tersedia dan memadai, masyarakat bisa beradaptasi untuk membeli produk rumah tangga dengan sistem guna ulang.
Ikut Mendorong Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik per tahun. Hanya sekitar 10% yang didaur ulang. Sekitar 4,8 juta ton sampah tidak terkelola dengan baik.
Dari total sampah nasional tersebut, sebesar 41,55% merupakan sampah organik, kemudian sampah plastik sebesar 18,55%. Berdasarkan Buku Rekam Jejak Mikroplastik oleh Ecoton, persentase jumlah sampah sisa makanan lebih banyak daripada sampah plastik. Namun, sampah organik dapat diuraikan oleh alam. Sementara, sampah plastik tidak dapat terurai dan hilang di alam, sampah plastik hanya berubah bentuk dan menyebabkan masalah baru, yaitu mikroplastik.
Saat ini, Indonesia juga menargetkan pengurangan sampah oleh produsen sebanyak 30% pada akhir tahun 2029. KLHK memberikan mandat kepada produsen untuk mengurangi sampah kemasannya dalam kurun waktu 10 tahun. Regulasi tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Melalui peraturan ini, produsen wajib menyusun dokumen perencanaan pengurangan sampah secara bertahap dengan target pengurangan sampah sebesar 30% pada 2029. Aturan tersebut mewajibkan produsen melakukan reduce, reuse, recycle (3R) untuk membatasi lima jenis plastik hingga akhir tahun 2029.
Alner sebagai perusahaan rinitisan dari Enviu telah membuka jalan mudah bagi produsen untuk mengurangi sampah plastik dari hulu dengan guna ulang. Salah satunya Alner kini telah bekerja sama dengan sekitar 10 produsen di Industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG) skala nasional dan internasional.
“Dalam membangun kesadaran konsumen untuk bisa beralih ke sistem guna ulang perlu dibarengi dengan perilaku, infrastruktur, dan penguatan regulasi. Konsumen akan lebih mudah menerapkan ketika melihat apa yang harus mereka lakukan.”
Mudah untuk Membeli Produk Guna Ulang
Konsumen juga mudah membeli produk guna ulang di mitra terdekat Alner atau secara online. Apabila produk habis, konsumen dapat mengembalikan kemasan ke tempat pembelian semula atau meminta kurir Alner untuk mengambilnya.
Selain itu, kemasan yang dikembalikan akan dibersihkan di kantor Alner di Kemang, Jakarta Selatan. Setelah sterilisasi, wadah diisi ulang dengan produk dari produsen yang bekerja sama dengan Alner. Jika sebuah wadah rusak dan tidak dapat digunakan, mitra daur ulang Alner siap membantu. Jadi tidak ada sampah yang tersisa dalam sistem guna ulang ini.
Tercatat pada tahun 2019 sampai 2023 seluruh startup yang Enviu Indonesia kembangkan berhasil mengurangi dan mencegah 25 juta keping plastik sekali pakai terlepas ke lingkungan.
Perempuan Hadapi Tantangan
Direktur Asosiasi Pendamping Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (ASPPUK), Emmy Astuti mengatakan, pengusaha perempuan kerap menghadapi berbagai tantangan. Perempuan masih kekurangan akses atau kesempatan terhadap pelatihan dan sangat terbatasnya pengembangan teknologi untuk menjalankan usaha.
“Tantangan itu juga datang dari sosial budaya dan gender. Stereotip negatif kepada perempuan misalnya kaya ngapain sih capek-capek berbisnis nanti nggak ada yang mengurus suaminya. Biasanya kadang ada yang nyinyir kok jadi wanita karir? Sehingga tantangan budaya menghambat berkembang, perempuan terkadang enggak berani ambil risiko itu,” ungkap Emmy.
Namun bagi Darina, selama berkiprah di bidang lingkungan hidup, ia merasa senang mendapat dukungan penuh karena dikelilingi oleh orang-orang yang peduli terhadap lingkungan dan sosial. Menurutnya, ia tidak merasa ada perbedaan gender yang mencolok dalam usaha yang dijalankannya. Namun tentu saja, sebagai perempuan ia pernah mengalamai pengalaman yang tak menyenangkan.
“Diskriminasi yang pernah aku alami mungkin lebih ke kondisi aku sangat muda ketika memulai, jadi untuk meyakinkan apa yang aku maksudkan kadang sulit. Tapi dari situ aku belajar banyak juga.”
Stereotip Menjadi Hambatan
Sebagai perempuan ia pernah merasa hambatan karena beberapa orang menganggap ia masih muda. Asumsi obyektif tersebut menimbulkan beberapa kesulitan pada Darina.
“Apalagi saat statusku S2 dan sedang menjalankan bisnis juga its hard, very hard. Mungkin penampakan aku masih terlihat sangat muda. Beberapa kali orang masih enggak percaya gitu. Dulu, aku datang ke sebuah pertemuan ada orang menyeletuk “Kalau mahasiswa nanti aja mba”. Iya memang statusku masih mahasiswa, tapi kan aku saat itu juga sudah berkecimpung di bisnis dan aku rasa udah enggak muda lagi umurku. Ada sih rasanya sedih, tapi kira-kira apa ya yang aku bisa improve?” ujar Darina.
Asumsi dari penampilan seseorang ini telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi seseorang. Hal ini juga bisa mempersempit gerak seorang perempuan muda untuk ikut terlibat berbicara dalam sebuah kegiatan.
Good Course Learning Designer, Tilly Kakek menyatakan diskriminasi usia adalah isu kesetaraan, keberagaman, dan inklusi yang jarang terbahas daripada bentuk-bentuk bias lainnya. Namun, hal ini tetap penting.
Faktanya, menurut laporan CIPHR, ‘Workplace discrimination statistics in 2021’ di Inggris, diskriminasi usia adalah bentuk diskriminasi di tempat kerja yang paling sering dilaporkan.
Diskriminasi usia dapat membatasi peluang kemajuan, mengurangi potensi penghasilan seseorang, dan bahkan menyebabkan hilangnya pekerjaan dini. Hal ini juga dapat menghalangi seseorang untuk dipekerjakan pada pekerjaan yang tepat, meskipun mereka adalah kandidat yang memiliki kemampuan di bidangnya.
Lawan Stereotipe Gender
Perlu untuk membentuk kembali narasi terkait stereotipe gender mengenai perempuan yang melekat di masyarakat. Hal itu untuk dapat berpihak bagi kebebasan memilih bagi perempuan dan dengan bukti nyata. Bagi Darina, mengakui adanya berbagai stereotipe tentang perempuan itu bukan hal yang mudah.
Misalnya, Darina walau dulu pernah diremehkan karena usianya yang masih muda, tetapi hal itu melatihnya untuk berempati lebih besar.
Itu bukan menjadi pengalaman pertama Darina. Ia juga pernah bekerja di salah satu industri yang bergerak di teknologi. Para pekerja dalam bidang tersebut mayoritas pria. Walaupun pada posisi tersebut ia sebagai minoritas, Darina jadikan momen itu sebagai sebuah kesempatan untuk bersuara.
“Misalnya aku cewek sendiri dan aku minoritas, enggak mungkin nih mereka bisa paham apa yang aku maksud. Tapi ya aku jadikan itu sebagai kesempatan untuk memperlihatkan bahwa aku pasti stand out, suara aku bisa didengar, jadi gunakan kesempatan itu untuk membuktikan dan belajar untuk gimana caranya lebih baik lagi,” tegasnya.
Perempuan Ciptakan Sabun Ramah Lingkungan
Melihat permasalahan sampah yang tak juga kunjung selesai, kisah pelopor guna ulang juga muncul dari salah seorang perempuan asal Kota Tangerang. Ia adalah Kumala Susanto, pendiri Hepi Circle salah satu usaha yang menawarkan solusi untuk belanja barang harian menggunakan sistem tukar kemasan atau guna ulang.
Usaha itu Kumala dirikan saat dirinya berprofesi sebagai dosen rumpun mata kuliah social innovation di Surabaya. Kumala merasa harus memvalidasi materi pembelajaran yang dilakukan olehnya dengan cara membuktikannya langsung. Sehingga dapat lebih memahami proses yang dijalankan oleh mahasiswanya.
Setelah satu tahun menjadi dosen, Kumala mencoba menuangkan idenya di Circular Design Challenge OpenIDEO oleh Ellen MacArthur Foundation pada tahun 2017. Program tersebut merupakan lomba untuk mencari inovasi pengurangan plastik sekali pakai. Siapa sangka ide Kumala terpilih menjadi top ideas dan ia mendapatkan modal awal untuk mengembangkan idenya.
“Ketika aku membangun Hepi Circle aku mau semua orang lebih bahagia ketika mengurangi sampah. Mengurangi sampah itu jangan dipikir untuk orang lain dahulu, tetapi buat kesehatan kita, lingkungan kita, batin kita. Kita mengurangi sampah-sampah dalam hidup kita lahir batin. Terlepas latar belakang agama kita, kita semua orang Indonesia yakin bahwa kebersihan itu sebagian dari iman.”
Selain itu, lanjutnya, dengan mengurangi sampah, kita juga mengurangi beban orang yang mengelola sampah dan membuat hidup mereka menjadi lebih bersih. Jadi, kita sedekah kebersihan untuk mereka yang tinggal di lingkungan sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
“Jangan dipikir nanti mereka jadi tidak dapat sampah untuk dijual, sampah plastik pouch itu tidak bisa dijual, tidak ada harganya, apalagi sachet. Jadi kita harus lebih banyak memakai ulang barang yang memang masih bisa dipakai ulang. Hepi Circle memfasilitasi ini agar proses bersih-bersih kita menjadi lebih mudah. Jadi, semua orang bisa hepi (bahagia) dengan cara yang mudah,” lanjutnya.
Hepi Circle Kurangi 96 Kilogram Sampah Plastik
Saat ini, produk sabun cuci piring dengan wangi jeruk nipis segar yang menjadi produk utama yang Hepi Circle jual. Produk sabun ini terbuat dari bahan yang lebih ramah lingkungan yang terurai secara alami tanpa adanya residu dioxin.
Produk yang Kumala gagas ini kegunaannya terbukti ampuh menghilangkan bau pada piring dan perabot dapur. Kelembutan tangan juga bisa terjaga karena ada kandungan pelembab dalam formulanya.
Bahannya mengandung pelembab vegetable glycerin yang bisa dipakai sebagai bahan baku utama hand lotion. Bahan kimia pada produk ini juga tidak berlebihan. Bahkan, Hepi Circle tidak memasukkan Sodium Lauryl Ether Sulfate (SLES), jenis bahan kimia yang melalui proses etoksilasi mengandung residu berbahaya dioxin. Konsumen Hepi Circle yang memiliki kulit tangan sensitif sangatlah terbantu oleh produk ini.
Saat ini, Hepi Circle berhasil mengurangi sampah plastik sebanyak 96 kilogram. Sebagian besar konsumen juga konsisten untuk mengembalikan kemasan produk cuci piring tersebut saat sudah habis kepada distributor maupun reseller.
Ada 16 reseller di Indonesia yang bekerja sama dengan Hepi Circle. Secara bertahap, penjualan pun makin meningkat, bahkan konsumen pun memberikan respons baik terhadap produk hasil gagasan Kumala.
“Ada ibu rumah tangga yang memberikan testimoni seperti ini ‘aku suka banget nih kalau pakai produk Hepi Circle tanganku nggak rusak. Biaya aku ke dokter saat tanganku perih dan pecah lebih mahal kan”. Sebelum menggunakan Hepi Circle, pelanggan tersebut memang sampai ke dokter untuk mengobati tangannya. Setelah menemukan Hepi Circle, tangannya sudah tidak sakit lagi kalau habis cuci piring. Kami mendengarnya senang sekali, jadi produk kami tuh bisa cocok bagi yang kulitnya sensitif. Kedepannya, kami juga akan merilis sabun cuci tangan khusus premium khusus untuk tangan sensitif yang harganya terjangkau” ujarnya.
Berdiri sebagai Perempuan yang Menginspirasi
Hepi Circle usaha yang ia bangun sejak tahun 2017 kini menjadi sorotan di tengah gerakan revolusi guna ulang. Kumala adalah sosok perempuan inspiratif yang kerap tampil di berbagai forum untuk mengenalkan bisnisnya sebagai referensi bisnis berkelanjutan kepada para pemangku kepentingan.
Sebagai seorang perempuan, ia juga mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan para pemimpin bisnis di dunia yang kebanyakan laki-laki. Namun, baginya tak ada masalah saat bertukar pikiran dan berdiskusi bisnis dengan lawan jenis. Berdasarkan pengalamannya, Kumala mendapati rekan bisnis baik laki-laki maupun perempuan yang sangat mendukung bisnisnya.
“Di dalam tim aku ada perempuan dan laki-laki tapi kita bisa bekerja bareng. Kami kalau bisnis ya usaha bareng ya, kami semua sangat terbuka”
Melihat pengalamannya yang berkecimpung dalam bidang lingkungan, justru Kumala menyatakan bahagia kalau saat ini ada banyak investor yang memiliki program khusus untuk perempuan. Kesempatan itu sangat berarti bagi para perempuan yang ingin mengembangkan bisnisnya. Sebab, memang banyak perempuan lain yang masih terdiskriminasi di bidang bisnis.
Namun, sebelum Kumala memimpin bisnis seperti sekarang ini, celotehan orang lain kepadanya juga masih sering ia terima. Imej tentang ‘perempuan tidak perlu sekolah tinggi’ belum juga hilang dari pandangan masyarakat saat ini. Beruntungnya, sang ibu mengajarinya untuk cuek.
“Dari keluarga inti tidak pernah ada omongan seperti itu, apalagi mama aku selalu cuek dengan omongan tetangga yang ngomong ‘ngapain sekolah jauh-jauh’ buat aku. Jadi aku juga cuek aja sama omongan itu. Mama aku itu sangat mendukungku untuk sekolah tinggi. Terus soal ‘eh cewek kok belum nikah’ misalnya, terus nenekku minta punya cucu haha,” tuturnya.
Meskipun mengiris hatinya, tapi omongan itu Kumala terima dengan bijak. Menurutnya, tak perlu memperpanjang masalah, tetapi ia harus menyadari bahwa itu adalah pemikiran yang keliru.
“Menyeleksi orang-orang yang terus berkomentar itu penting, supaya hati tenang dan bisa terkelilingi oleh orang-orang suportif saja,” ujarnya.
Perempuan Kena Dampak Stereotip
Namun, tidak menutup kemungkinan permasalahan seperti stigma dan stereotip mengenai perempuan, masih banyak pebisnis perempuan rasakan. Hal itu menjadi sebuah tantangan bagi mereka.
Berdasarkan laporan survei tentang ‘Stereotip Gender dan Dampaknya terhadap Perempuan Pengusaha’ oleh Cherie Blair Foundation for Women, 70% perempuan pengusaha terkena dampak stereotip.
Perempuan pengusaha yang tersurvei mengatakan bahwa stereotip gender berdampak negatif terhadap pekerjaan mereka sebagai pengusaha. Lebih dari enam dari sepuluh responden (61%) percaya bahwa stereotip gender berdampak pada pertumbuhan bisnis mereka. Kemudian, hampir setengahnya (49%) mengatakan stereotip gender berdampak pada profitabilitas.
Pengalaman mengenai stereotip gender tersebar luas, dan hampir semua (96%) perempuan pengusaha yang tersurvei mengatakan bahwa pernah mengalaminya secara langsung dalam kehidupan mereka.
Ekspresi stereotip gender yang beragam juga terlihat jelas, salah satu stereotip yang paling sering terlaporkan adalah hampir separuh (49%) responden melaporkan anggota keluarga atau teman meminta mereka untuk lebih fokus pada keluarga.
Laporan itu merinci analisis data survei online dari 221 perempuan pengusaha di 42 negara berpenghasilan rendah dan menengah yang terkumpul pada bulan Juli dan Agustus 2021.
Buka Peluang Bisnis untuk Ibu Rumah Tangga
Peran perempuan dalam mendukung revolusi ini sangatlah kuat. Suara dan upaya mereka begitu terbukti nyata untuk membawa sebuah perubahan bagi lingkungan.
Tiza sebagai aktivis lingkungan perempuan menyatakan bahwa banyak tokoh perempuan di Indonesia yang menyuarakan pendidikan lingkungan hidup sebagai fondasi nilai masyarakat sejak dahulu kala.
“Sampai sekarang pun semangat itu belum padam. Banyak gerakan masyarakat yang menyuarakan isu pengurangan sampah dari rumah pun berasal dari para ibu rumah tangga. Kami percaya bahwa semangat ini pun bisa menular pada gerakan guna ulang, yang memang untuk memulainya bisa dari rumah sampai dengan skala nasional,” imbuhnya.
Bisnis Darina dan Kumala juga telah membuka jalan lebar bagi banyak perempuan di Indonesia. Mereka mengetuk pintu-pintu tingkat paling dasar untuk mengenalkan solusi guna ulang dan mengetahui kebutuhan masyarakat.
“Aku belajar itu dari ibu-ibu di lapangan, kalau aku nggak punya pengalaman aku mengetuk satu-satu rumah, jalan kaki seharian, panas-panasan mungkin aku gak bisa untuk sekarang membahas advokasi, regulasi, segala macam. Terus aku jadi tahu dari mereka kan apa yang mereka butuhkan.”
Berikan Penghasilan Tambahan
Lewat bisnisnya, kini Darina membuka banyak peluang bagi ibu rumah tangga, khususnya bagi mereka yang aktif di komunitas bank sampah. Sebanyak 40% mitra Alner berasal dari bank sampah yang ibu-ibu gerakkan. Ia sangat senang karena bisnis yang ia kembangkan bersama timnya bisa mendorong ibu rumah tangga mendapatkan penghasilan tambahan.
Sebagai ibu rumah tangga yang rela menyisihkan waktunya sebagai relawan sampah, kini bisa meraup penghasilan Rp600 ribu hingga Rp700 ribu per bulan. Tak mudah bagi mereka sebagai perempuan yang juga harus membagi waktunya untuk keluarga sekaligus berkecimpung untuk berbisnis dalam bidang persampahan.
Konfigurasi yang Hepi Circle jalankan hampir sama dengan Alner. Pengecer atau reseller Hepi Circle juga sangat beragam. Kumala menerobos banyak pintu untuk menjual produknya kepada ibu-ibu rumah tangga, warung, dan tempat les. Sehingga, jaringan yang ia tebar itu bisa lebih luas meskipun produknya juga dijual secara online.
“Ada banyak kafe lokal yang emang mendekatkan arah berkelanjutan. Pebisnis store ramah lingkungan seperti guna ulang juga banyak dilakukan sama perempuan. Isu sampah ini dekat dengan belanja dan paling sering belanja itu perempuan. Mereka sering berpikir ‘Kalau anak saya ke pantai kotor gimana?’ Jadi banyak perempuan yang care ke isu ini,” kata Kumala.
Belum Terlepas dari Tantangan
Perjuangan para perempuan yang bergerak di bisnis guna ulang ini belum terlepas dari tantangan. Darina dan Kumala memiliki tantangan yang berbeda.
Bagi Kumala, dalam memasarkan produk sabun cuci piring ramah lingkungan ini memerlukan upaya lebih kuat. Apalagi, Kumala harus bersaing harga pasaran yang jauh lebih murah. Tidak mudah juga bagi Kumala dalam mendorong adopsi guna ulang di dalam pola konsumsi masyarakat yang serba praktis ini.
Harga pasaran sabun cuci piring umum dengan harga produk Hepi Circle sangatlah jauh berbeda. Kumala membandrol isi ulang produk sabun cuci piringnya dengan harga eceran terendah Rp 25 ribu untuk ukuran 1 liter. Walaupun kualitas produk Hepi Circle lebih premium karena menambahkan pelembab extra, sehingga bisa untuk pemilik tangan sensitif, Hepi Circle masih kerap bersanding dengan produk reguler yang harganya lebih murah.
Darina juga menungkapkan tantangan tersebut. Ia merasa dalam menjalankan bisnisnya ini perlu dukungan regulasi kuat dari pemerintah. Sehingga, para produsen bisa lebih berani untuk ikut masuk dalam bisnis guna ulang ini.
“Kami harus bekerja ekstra sebagai inovator dan harus ekstra juga untuk mengakomodasi pelanggan dan bisnis. Pelanggan juga harus ada upaya yang ekstra. It’s still very hard, tapi ternyata bisnis kami sudah berjalan 5 tahun, I think it’s a big milestone jadi semangat lagi untuk lihat apa yang di depan,” ucap Darina.
Perlu Ambisi Kuat untuk Tangani Sampah
Secara global, sachet terjual per tahun kurang lebih sebanyak 855 miliar. Lapisan foil sachet sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah. Alhasil, sachet berakhir di TPA dan mencemari badan-badan air seperti sungai hingga pantai. Bahkan, bahan kimia plastik dalam kemasan sachet dan partikel mikroplastik yang terlepas dari sachet juga dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh
Pemerintah memiliki komitmen penanganan sampah sebesar 70% pada tahun 2025 dan pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30% pada tahun 2030. Tanpa adanya upaya lebih serius oleh pemerintah, tentu target itu sulit tercapai. Perlu ambisi yang kuat untuk menggapai seluruh komitmen ini. Tata kelola dan kebijakan juga harus pemerintah benahi.
Pada kesempatan lain, Pengkampanye Polusi dan Urban Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Abdul Ghofar mengatakan, masalah sampah plastik sangat erat kaitannya dengan tata kelola dari berbagai aspek.
“Masalah sampah plastik berkaitan dengan tata kelola aspek perencanaan, kebijakan, evaluasi yang kurang berjalan maksimal. Pemerintah baik level nasional dan daerah perlu melakukan perbaikan dari segi tata kelolanya,” ungkap Ghofar.
Oleh sebab itu, aturan bebas plastik perlu selaras antara masalah, solusi, dan tata kelola hingga aturan-aturan sehingga tidak menambah masalah baru. Sebab, saat ini sebagian besar aturan hanya fokus pada penanganan di hilir.
Padahal, lanjut Gofar, perlu perbaikan tata kelola pengurangan di hulu. Tata kelola ini perlu berjalan ambisius dan progresif untuk mengurangi sampah. Pengelolaan tersebut harus dengan perencanaan matang, implementasi terkontrol, pengendalian program, dan anggaran yang memadai.
Perlu Aturan Lintas Sektor untuk Terapkan Guna Ulang
Tiza mengatakan untuk mendorong sistem guna ulang perlu adanya peraturan dari lintas kementerian dan lembaga, supaya bisa mendorong dan memudahkan para pelaku usaha untuk beralih ke bisnis yang menerapkan sistem guna ulang. Selain itu, perlu standar kemasan guna ulang, juga pengadaan fasilitas umum untuk mendorong sistem guna ulang yang efektif serta tetap terjamin higienitas kemasannya dan dapat konsumen akses dengan mudah.
Saat ini, sudah banyak bisnis yang sudah menerapkan sistem guna ulang di semua kategori bisnis. Mulai dari kuliner, kosmetik, hingga produk kebersihan rumah tangga. Tandanya Indonesia ‘siap’ untuk menyambut normal baru terkait guna ulang.
“Tentu saja Indonesia terus membutuhkan banyak dukungan dan peran serta dari seluruh pemangku kepentingan. Kolaborasi pemangku kepentingan sangat penting untuk menciptakan ekosistem guna ulang yang masif. Perubahan besar-besaran ini membutuhkan keterlibatan dan komitmen semua pemangku kepentingan. Pemerintah sebagai regulator, produsen, pengecer dan perusahaan lain sebagai sektor bisnis, serta masyarakat sebagai konsumen,” ungkapnya.
Aturan Guna Ulang Makin Terlihat
Saat ini, beberapa aturan pemerintah yang mendukung guna ulang untuk menjadi mandat dalam pengurangan sampah makin terlihat. Tahun lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi mengeluarkan peraturan terkait sistem isi ulang untuk produk kosmetik. Regulasi ini sejalan dengan upaya pengurangan penggunaan plastik di hulu.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Pengawasan Pembuatan dan Peredaran Kosmetik. Dalam hal ini, BPOM memiliki tugas pengawasan, pembuatan, dan peredaran kosmetik terhadap fasilitas kosmetik. Kategori kosmetik isi ulang yang tertuang dalam aturan itu meliputi sabun mandi (cair), sabun cuci tangan (cair), sampo, dan kondisioner.
Upaya tersebut juga sejalan dengan aturan Permen LHK No 75 Tahun 2019 untuk mendukung implementasi guna ulang di Indonesia. Sejak tahun 2022, KLHK juga cukup intensif dengan BPOM untuk menerapkan aturan tersebut.
“Dalam berbagai kesempatan, kami juga terlibat dalam diskusi terkait implementasi sistem isi ulang di Indonesia. Saat ini, kami juga tengah mendorong penyusunan SNI Guna Ulang untuk memfasilitasi model bisnis isi ulang ini termasuk terlibat dalam beberapa diskusi penyusunan SOP isi ulang,” kata Direktur Pengurangan Sampah KLHK, Vinda Damayanti.
Suara Aktivis Perempuan Sangat Kuat di Forum Internasional
Urgensi polusi plastik yang semua negara rasakan pun akhirnya menjadi salah satu alasan adanya proses diskusi guna membahas perjanjian hukum internasional (Global Plastic Treaty). Hal itu untuk mengatasi polusi plastik melalui seri negosiasi Intergovernmental Negotiating Committee (INC) yang akan berakhir pada akhir tahun 2024.
Tiza mengatakan, suara aktivis perempuan sangat kuat dalam pertemuan lingkungan hidup global, seperti diskusi Perjanjian Global tentang Plastik. Tidak hanya para aktivis, namun perwakilan negara yang duduk di meja negosiasi juga banyak yang perempuan.
Misalnya, pada pertemuan Global Plastics Treaty terakhir di Ottawa, Kanada, partisipan perempuan dari Indonesia lebih dominan. Mulai dari yang memimpin delegasi Indonesia di meja negosiasi, hingga aktivis senior serta aktivis muda yang lantang menyuarakan isu-isu kritis.
“Menyuarakan isu lingkungan di pertemuan global memiliki tantangannya tersendiri, karena bagaimana para aktivis ini membawa konteks negaranya bisa menjadi kunci untuk mempengaruhi suatu ide atau gagasan di skala global,” kata Tiza.
Hal ini menunjukkan bahwa di era sekarang perempuan mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Perempuan pun telah membuktikan kemampuannya untuk berkarier dan mengenyam pendidikan tinggi, memimpin bisnis, hingga terlibat di dalam advokasi pemerintahan maupun forum internasional.
Perempuan Garda Terdepan Dukung Guna Ulang
Tak sekadar itu, perempuan Indonesia pun mampu menjadi garda depan dalam mendukung guna ulang sebagai norma baru. Perannya sangat penting bagi lingkungan hidup dunia. Perempuan ibarat orang yang menghidupkan kembali budaya lama untuk menciptakan perubahan baik untuk menciptakan lingkungan lebih lestari.
Meskipun berbagai stereotip dan stigma masih menyasar perempuan, namun hal tersebut tidak menghalangi perempuan untuk terjun ke industri ini. Mereka telah membuktikan kemampuannya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan mampu mendorong sebuah revolusi dalam gerakan lingkungan hidup. Revolusi guna ulang pun tidak akan terwujud tanpa adanya peran perempuan.
Mulai dari pemimpin bisnis perempuan, ibu rumah tangga, pengusaha perempuan di usaha mikro kecil menengah (UMKM), hingga aktivis lingkungan perempuan saling bahu-membahu menciptakan kehidupan yang berkelanjutan bagi seluruh makhluk di bumi lewat solusi guna ulang. Semangat mereka terus membara dan menyala untuk membuat perbedaan nyata.
Nil Volentibus Arduum
(Tiada yang sulit bagi yang memiliki keinginan)
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia
Liputan ini merupakan bagian dari fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co.