Percepatan Benih Bioteknologi dapat Atasi Krisis Pangan

Reading time: 2 menit
Percepatan benih bioteknologi dapat mengatasi krisis pangan. Foto: Freepik
Percepatan benih bioteknologi dapat mengatasi krisis pangan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Kontribusi di bidang ilmu bioteknologi untuk mencegah risiko krisis pangan kian dibutuhkan. Menurut data BULOG, dampak serius dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan sudah semakin terasa, khususnya dari sisi penurunan produksi tanaman pangan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional dari Januari hingga April 2024 menurun sebesar 17,74 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 22,55 juta ton menjadi 18,55 juta ton.

Dengan demikian, peran bioteknologi begitu penting sebagai solusi untuk ketahanan pangan nasional. Bioteknologi pertanian merupakan alat baru dalam ilmu perbaikan tanaman. Teknologi ini memanfaatkan teknik penggabungan atau penyambungan sel dan gen (DNA) untuk menyempurnakan tanaman dan menghasilkan produk atau benih baru.

Direktur Utama Badan Urusan Logistik (BULOG) Bayu Krisnamurthi menyatakan, perlu intervensi untuk menjaga ketahanan pangan. Tanpa pemanfaatan teknologi, BULOG memproyeksikan di tahun 2050 jumlah produksi beras akan turun hingga 20 persen. Namun, harga akan naik hingga 20 persen.

“Praktik ‘business as usual‘ atau cara biasa akan membuat produksi beras justru menurun dan harga akan naik,” kata Bayu lewat keterangan tertulisnya.

Berbagai Upaya untuk Tingkatkan Ketahanan Pangan

Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian telah mendorong lebih banyak sinergi peningkatan ketahanan pangan nasional pada berbagai lini. Ada banyak program yang telah mereka gagas seperti supply peningkatan produksi, diversifikasi pangan, hingga efisiensi distribusi pangan.

Kemenko Perekonomian juga sudah menggunakan teknologi untuk meningkatkan produksi dan kualitas pangan hingga penguatan stok pangan nasional.

“Fokus kami adalah membuat program yang manfaatnya bisa petani dan masyarakat rasakan,” tutur Asisten Deputi Prasarana dan Sarana Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Ismariny.

Sampai saat ini, Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) juga telah melakukan pelepasan pada sepuluh tanaman Pangan Produk Rekayasa Genetik (PRG) yang terdiri dari delapan jenis jagung PRG, satu kentang PRG, dan satu tebu PRG.

Pangan Produk Rekayasa Genetik (PRG) adalah makanan dari modifikasi tanaman atau hewan secara genetik. Artinya, bagian dari DNA-nya telah diubah menggunakan teknologi ilmiah untuk meningkatkan kualitas, ketahanan, atau hasil produk tersebut.

Kepala PPVTPP, Leli Nuryati, menyatakan dalam melepas varietas tanaman PRG, pihaknya selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat.

“Di lapangan, benih PRG nyatanya sangat petani nantikan. Pada dasarnya, mereka sangat siap untuk mengelola varietas unggulan ini. Tugas kami adalah memastikan proses pelepasan yang sesuai aturan dan prosedur, serta meminimalisasi produk palsu yang merugikan petani juga masyarakat,” ujarnya.

Pengembangan Benih di Indonesia Lambat

Sementara itu, Direktur Eksekutif CropLife Indonesia, Agung Kurniawan mengatakan kebutuhan akan bioteknologi terbukti cukup besar. Namun, pengembangan benih unggul di Indonesia masih terbilang terlambat.

Pengembangan tersebut berbeda dengan negara lain. Proses perizinan, pengembangan, hingga komersialisasi benih PRG di Indonesia rata-rata memakan waktu sekitar 15 tahun.

Menurutnya, sampai dengan tahun ini, baru ada 10 varietas benih bioteknologi yang mendapat persetujuan penggunaannya, tetapi masih dalam skala terbatas.

“Regulasi yang ketat masih jadi kendala utama para peneliti di lapangan. Ditambah, ada kemungkinan ketika benih tersebut berhasil dikomersialisasi. Lalu, tantangan yang para petani hadapi sudah berubah. Padahal, dari sisi petani, mereka sudah sangat antusias dan siap untuk mengadopsi teknologi ini secepatnya,” jelasnya.

Agung mencontohkan keberhasilan beberapa negara Asia yang mengadopsi bioteknologi. Seperti Vietnam dan Filipina, yang telah mengadopsi praktik tersebut dan mengalami peningkatan produksi pertanian hingga 30 persen.

“Pencapaian ini menunjukkan potensi besar bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Kami berharap sinergi antara berbagai pihak ini dapat mendorong pengembangan dan komersialisasi benih bioteknologi di pasar. Sehingga, para petani dapat merasakan dampak positif yang sama seperti di negara-negara lain,” tambah Agung.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top