Jakarta (Greeners) – Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2012, Indonesia memiliki 2.2 juta jiwa nelayan tangkap yang menggantungkan hidupnya di laut. Di antara jumlah tersebut, 95 persen merupakan nelayan tradisional dengan perahu di bawah 10 Gross Ton.
Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA ) pada Mei 2014 juga mencatat sedikitnya 56 juta orang terlibat dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 39 juta orang adalah perempuan nelayan.
Sayangnya, perempuan nelayan atau istri para pekerja perikanan yang seharusnya menjadi aktor penting atas kontribusinya dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga nelayan ketika pekerja perikanan bekerja di atas kapal perikanan, perempuan nelayan malah mendapat perlakukan yang tidak adil bahkan tidak diakui.
“Perempuan nelayan selalu dituntut untuk mencari pinjaman hutang untuk persiapan perbekalan suami selama bekerja di atas kapal perikanan, tapi bahkan untuk mendapatkan asuransi saja sangat sulit,” tutur Presidium Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Umi naiyah saat mengisi diskusi pada Festival Perempuan Nelayan di Jakarta, Sabtu (09/09).
BACA JUGA: KKP Libatkan Nelayan Capai Target Kawasan Konservasi Laut 2020
Perempuan nelayan yang tersebar di 300 kabupaten/kota di Indonesia berkontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan protein ikan masyarakat. Perempuan nelayan, katanya, berkontribusi besar pada kebutuhan pemenuhan pangan bangsa. Namun ironinya, peran startegis perempuan nelayan terancam dengan adanya perampasan ruang hidup mereka.
Ekspansi perkebunan sawit di wilayah pesisir Langkat Sumatera Utara; reklamasi di Teluk Jakarta, Bali, Semarang serta Manado; pertambangan pasir besi di Jawa Tengah; ekspansi pariwisata di NTB dan NTT, dan ekspansi konsesi tambang di wilayah pesisir Indonesia Timur adalah sebagian dari banyaknya ancaman bagi masa depan pangan laut Indonesia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (PRL KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengakui bahwa kondisi perlakuan pekerja perikanan di banyak daerah masih belum seimbang. Oleh karenanya, KKP masih akan terus melakukan sosialiasi dan pemberdayaan ke daerah-daerah. Ia pun meyakini bahwa faktor utama kesejahteraan nelayan terletak pada bagaimana peran perempuan mampu diberdayakan. Hal tersebut terlihat dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di pantai utara dan pantai selatan Indonesia.
“Di pantai selatan, begitu nelayan laki-laki mendaratkan kapalnya, para nelayan perempuan mulai mengelola penjualannya, kesetaraan itu ada di situ. Sedangkan di utara, praktik seperti ini belum wajar. Setelah kapal merapat, tetap laki-lakinya yang melakukan penjualan dan mengelola keuangan,” terangnya.
BACA JUGA: Implementasi Poros Maritim, Kesejahteraan Nelayan Masih Terpinggirkan
Pemerintah Indonesia sendiri saat ini mulai berusaha memperhatikan keterlibatan peran perempuan dalam setiap kegiatan kehidupan sosial. Terlebih yang menyangkut kegiatan kemaritiman. Hal itu setidaknya tercermin dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam pada 15 Maret 2016 lalu. Pada Pasal 45, kegiatan pemberdayaan harus memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan juga rumah tangga petambak garam.
Pasal ini menegaskan kewajiban negara untuk meningkatkan keterlibatan dan peran perempuan nelayan dalam setiap kegiatan usaha dibidang perikanan dan kelautan hingga skala paling kecil, yaitu keluarga. Pada 2016 juga misalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No 28 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Program Resposif Gender KKP.
“Intinya KKP dengan perempuan nelayan itu KKP support bagaimana memberikan tambahan kepada keluarganya. Pemberdayaan ekonominya itu kita kasih ke perempuan. Dan kalau sudah ada Permennya, ya Peraturan daerah juga harus mendukung. Program asuransinya juga kita dorong karena untuk ini kan lintas kementerian yang urus ya,” tambahnya.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa peran perempuan dalam bidang perikanan, atau nelayan perempuan sangatlah penting terutama di industri tambak, nelayan laut maupun pekerja pesisir. Pemerintah, pintanya, harus mulai memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan diri para petambak yang mayoritas adalah perempuan tersebut dengan memberikan asuransi dasar kesehatan dan kecelakaan.
Penulis: Danny Kosasih