Jakarta (Greeners) – Maraknya pembukaan lahan, baik untuk pertanian skala kecil maupun perkebunan besar, ternyata berdampak signifikan terhadap kehidupan orangutan. Konflik dengan manusia makin sering terjadi karena habitat mereka terus berkurang.
Advisor for Orangutan Conservation Project dari Yayasan International Animal Rescue Indonesia, Gail Campbell Smith, kepada Greeners mengungkapkan, sangat sulit untuk menentukan apa penyebab utama terjadinya konflik antara masyarakat dan orangutan. Namun, Gail tidak menampik bahwa konflik antara masyarakat dan orangutan di Kalimantan Barat juga disebabkan karena perambahan hutan dan pembukaan lahan.
“Sebenarnya susah ya untuk menentukan mana penyebab paling dominan. Tapi, memang bisa dikatakan penyebab yang pasti terjadi itu (konflik antara masyarakat dan orangutan, Red.) diakibatkan oleh perambahan hutan,” ungkapnya usai mengisi materi “Penyelamatan Orangutan” dalam acara Indo Green Forestry Expo, Jakarta, Jumat (18/04).
Orangutan yang hanya bisa hidup di atas pohon, kata Gail, menjadi resah akibat berubahnya fungsi hutan, perambahan baik kecil maupun skala industri, kebakaran hutan, penebangan liar dan penambangan liar. Menyempitnya habitat orangutan membuat mereka turun dari pohon untuk mencari makan ke lahan warga yang membuka hutan untuk menanam jengkol, durian, cempedak maupun tumbuhan lain.
“Tanaman warga itu akhirnya menjadi sasaran orangutan karena hutan tempat mereka tinggal sudah hancur. Begitu juga dengan lahan sawit. Kalau di hutan sudah tidak ada makanan lagi, orangutan juga akan masuk ke perkebunan kelapa sawit dan memakan kelapa sawit muda karena orangutan suka dengan sawit muda,” ungkapnya.
Lebih lanjut Gail menjelaskan bahwa orangutan adalah hewan endemik yang hanya terdapat di dua pulau di Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan orangutan di dalam hutan, jelas Gail, menyebabkan ekosistem di dalam hutan menjadi seimbang. Karena orangutan hidup dengan memakan buah dan biji-bijian, kemanapun orangutan pergi selalu membuang biji-bijian yang mereka makan. Nantinya, biji-bijian itu akan tumbuh dengan sendirinya.
“Orangutan itu seperti Guardian of the Forest karena saat orangutan berada di hutan itu berarti ekosistem di hutan pasti seimbang. Indonesia sudah seharusnya bangga,” ujarnya.
Yayasan International Animal Rescue Indonesia yang memiliki pusat rehabilitasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dan menjadi partner dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, lanjut Gail, telah melakukan penyelamatan orangutan sebanyak 123 kali sepanjang tahun 2009 hingga Maret 2015.
“Mayoritas dari orangutan tersebut diserang oleh warga karena masuk ke perkebunan. Masalahnya adalah karena kawasan perkebunan, baik itu milik rakyat maupun perusahaan besar, dahulunya adalah habitat asli orangutan. Sehingga sebenarnya, manusialah yang telah masuk ke habitat orangutan dan merusak habitat asli mereka,” tegas Gail.
Di pihak lain, Sekretaris Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Novianto Bambang yang dihubungi Greeners melalui sambungan telepon pada Jumat (17/04), mengaku bahwa hingga saat ini revisi undang-undang tentang perlindungan satwa langka yang ada di dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih belum menjadi prioritas pembahasan.
Meski demikian, ia menyatakan bahwa pihaknya masih tetap melakukan pembahasan terkait revisi UU tersebut. Sedangkan untuk orangutan, terangnya, akan menjadi fokus karena orangutan merupakan hewan endemik yang harus dilindungi.
“Jelas, orangutan itu adalah satwa yang harus kita rawat dan lindungi karena mereka adalah hewan endemik asli Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih