Jakarta (Greeners) – Pandemi Covid-19 meningkatkan kuantitas limbah medis sebesar 30 hingga 50 persen. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, menyampaikan berdasarkan laporan dari 34 provinsi di seluruh Indonesia tercatat limbah medis dari penanganan Covid-19 mencapai 1.662,75 ton (per 15 Oktober 2020).
Dia menjelaskan, limbah penanganan Covid-19 ini termasuk ke dalam limbah Bahan, Berbahaya dan Beracun (B3). Lebih tepatnya, limbah tersebut masuk karakteristik infeksius dengan kode A3371 pada lampiran 1 Peraturan Pemerintah 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
“Limbah infeksius merupakan limbah B3 yang memiliki prinsip bahwa pengelolaannya harus dilakukan dari hulu ke hilir. Artinya, dari limbah dihasilkan dan dimusnahkan harus tercatat dan dikelola secara spesifik,” ujarnya pada acara Seruan Nasional: Menyelesaikan Masalah Limbah Medis, Jumat (13/11/2020).
KLHK Berikan Ruang untuk Penggunaan Insenerator
Vivien juga mengingatkan tentang Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup. Edaran tersebut memberikan ruang kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan untuk memusnahkan limbah medisnya di insenerator. Dengan catatan, insenertor bersuhu minimal 800 derajat celcius dengan prioritas utama rumah sakit yang memiliki izin.
“Kalau memang rumah sakit belum berizin dalam penggunaan insenerator kami memberikan ruang. Ada diskresi untuk dapat membakar di inseneratornya yang belum berizin tersebut. Walaupun memang spesifikasinya harus sesuai dengan Peraturan Menteri LHK No. 56 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 di Fasyankes,” tegasnya.
Untuk mendukung hal tersebut, Vivien mengatakan, KLHK juga bekerjasama dengan Polisi Republik Indonesia (Polri). KLHK mengimbau Polri supaya tidak menindaklanjuti dengan tindakan hukum rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang menggunakan insenerator belum berizin tersebut. Hal ini mengingat upaya pemusnahan limbah infeksius sangat mendesak. Selain itu, untuk daerah-daerah yang berada di remote area, bisa mengubur limbah infeksius dengan tata cara sesuai Permen LHK No. 56 tahun 2015.
Hanya 117 Rumah Sakit yang Miliki Izin Operasional Insenerator
Vivien mengakui, pengelolaan limbah medis untuk penanganan covid-19 ini sangat kurang karena fasilitas penghancuran limbah yang masih sedikit. Menurut data KLHK, Jumlah insenerator per oktober 2020 hanya ada 117 rumah sakit yang mendapat izin operasional, dan 17 jasa pengelolah limbah B3 yang berizin. Itu pun hanya berada wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
“Kami berharap dengan jumlah tersebut, bisa dioptimalkan dengan baik untuk memutus mata rantai covid-19 yang berasal dari limbah medis atau infeksius ini,” kata Vivien.
Baca juga: Menengok Penataan Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan pada UU Cipta Kerja
Pengelolaan Limbah Medis Covid-19 Cegah Penyebaran Penyakit
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Kirana Pritasari, mengatakan peningkatan jumlah limbah medis secara signifikan menghadapi lima tantangan besar dalam pengelolaan limbah medis. Kelima tantangan tersebut yakni kesenjangan antara kapasitas dan timbulan limbah; distribusi fasilitas pengolahan; koordinasi dan sinergi antar instansi; dan peran dari Pemerintah Daerah (Pemda) serta isu mengenai pembiayaan.
“Peningkatan kapasitas pengolahan limbah medis belum dapat menjawab tantangan yang ada. Tanpa distribusi yang merata di seluruh Indonesia akselerasi pengolahan limbah medis dapat berhasil manakala semua instansi terkait dan para pemangku kepentingan berkordinasi dan bersinergi seusai dengan kewenagan masing-masing. Oleh karenanya, diharapkan bisa menjawab permasalahan limbah medis,” ujar Kirana.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa juga menyampaikan, satu langkah penting praktik pengelolaan limbah medis harus sesuai dengan persyaratan agar mencegah penyebaran penyakit menular termasuk Covid-19 serta dampak B3 bagi kesehatan lingkungan dan manusia.
“Mari kita pastikan desain perencanaan pembangunan nasional dan daerah termasuk investasi untuk mempraktekan tata kelola pembangunan limbah medis yang baik dan bersih termasuk memprioritaskan ketersedian sarana dan prasarana serta peralatan yang sesuai standar,” ujar Suharso.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi