Malang (Greeners) – Organisasi Protection of Forest & Fauna (Profauna) Indonesia mendesak pengamanan di Maluku Utara ditingkatkan. Sebab, praktik penyelundupan burung ke Filipina masih sering terjadi di wilayah itu.
Juru Kampanye Profauna Indonesia, Swasti Prawidya Mukti mengatakan, empat warga asal Filipina diamankan Direktorat Polair Polda Maluku Utara (Malut) saat melaksanakan patroli pengamanan di wilayah perairan di Desa Ranga Ranga, Kabupaten Halmahera Selatan, Senin (9/5/2016). Keempat warga asing ini diduga menyelundupkan 212 ekor burung lokal.
Dari 212 burung khas yang berhasil diamankan terdiri dari 150 ekor burung nuri bayan, 53 burung kakak tua putih, 3 ekor burung nuri ternate dan 1 burung barakici. Ditambah 3 ekor burung kakak tua dalam keadaan mati, 1 ekor nuri bayan dan 1 ekor nuri ternate.
Dari keterangan aparat setempat, kata Swasti, upaya penyelundupan burung khas Malut bermula dari masuknya kapal asal Filipina (tanpa nama dan bendera) dengan awak kapal 4 orang masuk ke perairan Malut sejak 28 April 2016. Kapal tersebut menuju Desa Ranga Ranga. Para awak kapal lantas menggunakan lampu menuju desa sebagai isyarat tibanya mereka dan siap membeli burung yang akan dijual oleh warga desa setempat.
“Selama ini Filipina tujuan utama penyelundupan burung asal Sulawesi dan Maluku Utara. Selanjutnya, burung-burung tersebut dijual di pasar domestik, sebagian lainnya diselundupkan ke negara-negara lain di Singapura, Malaysia dan Timur Tengah,” ungkapnya.
Menurut Swasti, bukan pertama kali kasus serupa terjadi di wilayah Maluku Utara. Pada tahun 2007, pihaknya telah menyerahkan laporan perdagangan burung nuri dan kakaktua asal Indonesia. Dalam laporan itu disebutkan adanya penyelundupan burung asal Maluku Utara ke Filipina. Dalam setahun terdapat 4 ribu ekor burung paruh bengkok asal Malut diselundupkan. Di antaranya dari jenis kakatua putih (Cacatua alba), kesturi ternate (Lorius garrulus), bayan (Ecletus roratus) dan nuri kalung ungu (Eos squamata).
Burung-burung ini sebagian besar diselundupkan melalui Desa Pelita di Halmahera Utara dengan dikirim menggunakan kapal boat pribadi menuju General Santos atau Davao, Filipina. Besar kemungkinan burung yang diselundupkan ke Filipina adalah jenis kakatua putih yang sampai sekarang belum masuk dalam kategori burung dilindungi undang-undang.
“Perkiraan kami ada 10 persen burung kakatua putih yang diselundupkan oleh para oknum ini,” jelas Swasti.
Menurutnya, pada tahun 2012-2014, penangkapan kakatua putih terbilang cukup tinggi. Diperkirakan ada 300-500 ekor kakatua putih yang ditangkap dari alam Maluku Utara tiap tahunnya. Penangkapan ini tidak lain untuk memenuhi permintaan kakatua putih di tanah Jawa dan luar negeri.
Sementara, Koordinator Profauna Maluku Utara, Ekawaty Ka’aba menyebut tingginya kasus penyelundupan burung nuri dan kakatua dari wilayah Maluku Utara ke Filipina dan ke wilayah Jawa disebabkan masih lemahnya kontrol serta pengawasan petugas di lokasi penangkapan. Burung-burung yang diselundupkan kebanyakan ditangkap di daerah Halmahera Selatan, Halmahera Utara dan Halmahera Timur.
Selain itu, petugas yang ada saat ini sangat minim atau tidak dapat maksimal menjaga wilayah di Maluku Utara. ”Penegakan hukum kasus penangkapan dan perdagangan burung nuri dan kakaktua semakin susah. Jika ada fasilitas penampungan, maka cukup mempermudah dalam penanganannya,” ungkap Eka.
Penulis: HI/G17