Pulang Pisau (Greeners) – Kebakaran hebat yang terjadi pada 2015 telah menghanguskan kurang lebih 7.000 hektar lahan Hutan Desa di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Kawasan yang memiliki luas 16.245 hektare tersebut kini tampak gersang dan ditumbuhi ilalang tinggi serta beberapa pohon jenis grunggang, tumih, galam dan gahuy.
Padahal sebelum kebakaran 2015 terjadi, kawasan Hutan Desa yang masuk dalam hutan lindung ini merupakan belukar rawa. Menurut Direktorat Jendral Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kawasan ini mencakup 81,7 % areal hutan desa, sisanya berupa Hutan Rawa Sekunder 18,2 % dan Rawa 0,1 %.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK 584 s/d 587/Menhut-II/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Penetapan Wilayah Hutan Desa di Kecamatan Kahayan Hilir, menyatakan bahwa Hutan Desa (HD) di Kelurahan Kalawa, Desa Mantaren I, Desa Gohong dan Desa Buntoi seluruh arealnya berada di wilayah Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
BACA JUGA: Masyarakat Dayak di Desa Wehea Kukuhkan Hutan Adat di Kutai Timur
“Hutan Desa Buntoi merupakan Hutan Desa terbesar dengan luas areal ± 7.025 hektar. Sedangkan yang terkecil dari keempat areal Hutan Desa ini adalah Hutan Desa Mantaren I yaitu sebesar lebih kurang 1.835 hektare,” ujar Yanto L Adam, Kepala Desa Gohong, saat mendampingi wartawan di Hutan Desa Kalawa.
Ancaman terhadap Hutan Desa, lanjutnya, telah dimulai sejak awal tahun 2000-an dengan munculnya para pembalak dan pemburu liar. Para pembalak liar ini sangat mengancam keutuhan isi hutan desa. Apalagi, hutan tersebut adalah hutan lindung.
Sementara itu, perburuan liar terhadap trenggiling dengan cara membuat api untuk memancing trenggiling keluar dari sarangnya sangat rentan menjadi penyebab kebakaran. Disamping trenggiling merupakan hewan terancam punah yang dilindungi.
Hingga pada 10 Maret 2004, masyarakat Desa Kalawa melayangkan surat keberatan atas penebangan hutan yang ditujukan kepada Bupati Pulang Pisau , Kepala Disbunhut Pulang Pisau , Kepala Kejaksaan Negeri Pulang Pisau, Kapolsek Kahayan Hilir, dan DPRD Pulang Pisau.
“Tahun 2000-an penebangan tanpa izin banyak dilakukan oleh masyarakat luar desa sampai akhirnya masyarakat Kalawa melayangkan dan mengadukan kegiatan ini kepada Bupati Pulang Pisau, Disbunhut, Kejaksaaan, kepolisian dan DPRD Pulang Pisau. Surat kemudian di respon oleh pemerintah dengan melakukan penertiban pengamanan,” tuturnya.
Jauh sebelum perambahan dan kebakaran, Koordinator Pelaksana Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan Edy Subahani mengungkapkan kalau hutan desa tersebut juga merupakan bagian dari bekas proyek pengembangan lahan gambut (PPLG) sejuta hektar yang dibuat pada tahun 1995. Proyek tersebut dibangun dengan tujuan mengonversi hutan rawa gambut menjadi sawah guna mempertahankan swasembada pangan. Namun, proyek tersebut dihentikan akibat dampak krisis moneter tahun 1998.
Pada tahun 1999, jelasnya, keluar Keputusan Presiden Nomor 80 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah untuk pemulihan kondisi kawasan yang dibuka. Saat itu, yang terjadi justru kerusakan lingkungan dan ekosistem seluas 1.462.295 hektar. Bahkan, hal itu berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi yang memprihatinkan bagi 15.600 kepala keluarga transmigran.
BACA JUGA: Pengembangan Wisata Alam Optimalkan Aset Hutan dan Taman Nasional
Kecamatan Kahayan Hilir, katanya, jika dilihat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mempunyai luas 360 Km² dan terbagi dari 9 Desa/kelurahan (7 Desa, 3 kelurahan). Wilayah Kecamatan itu terbagi dalam kawasan hutan yaitu Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Hutan Lindung di kecamatan ini merupakan zona penyangga desa yang masih merupakan hutan rawa gambut (gambut dalam) dan hutan yang tersisa akibat pembukaan PPPLG 1 juta Hektar tahun 1995.
“Untuk mengembalikan lagi fungsi Hutan Desa yang juga masuk dalam kawasan hutan lindung tersebut, masyarakat Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) ingin kembali menanam varietas endemik di Hutan Desa seperti belangiran, sengon, jelutung, jabon dan banyak lagi,” tambahnya.
Alue Dohong, Deputi Dua bidang Konstruksi Operasional dan Perawatan Badan Restorasi Gambut (BRG) menyatakan, saat ini Hutan Desa di Kalawa mulai dijadikan model percontohan proses restorasi lahan gambut. BRG bersama beberapa kelompok kerja sistem hutan kerakyatan tengah melakukan perencanaan hingga nantinya dilakukan implementasi terhadap pengelola hutan dan masyarakat.
Penulis: Danny Kosasih