Jakarta (Greeners) – Memenuhi kebutuhan gizi pada anak khususnya pada seribu hari pertama kelahiran sangatlah penting karena mampu memengaruhi kemampuan kognitif pada anak hingga mereka remaja. Namun sayangnya, bila dilihat dari kompetensi belajar siswa di Indonesia, ternyata masih jauh dibanding negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Menurut survei yang dilakukan oleh OECD (Organization for Ekonomic Co-operation and Development-Programme for International Student Assessment) terhadap kompetensi 510.000 pelajar usia 15 tahun di 65 negara, Indonesia masuk dalam urutan ke 64 dari 65 negara partisipan OECD tersebut. Sementara Malaysia di posisi 52, Thailand posisi 50, Vietnam posisi 17, dan Singapura posisi 2.
“Kompetensi pelajar Indonesia dalam bidang membaca, matematika dan science pada siswa-siswa di Indonesia ternyata berada jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang keanggotaannya diikuti oleh beberapa negara Asia Tenggara,” ujar Prof. Endang L. Achadi MPH. Dr. PH, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (25/02).
Menurut Endang, anak menjadi pendek (stunting), kurang cerdas, dan kurang tangkas merupakan sebagian dari dampak apabila anak mengalami kekurangan gizi dalam seribu hari pertama sejak anak tersebut dilahirkan. Selain itu, anak juga menjadi lebih berisiko mengalami penyakit kronis di usia dewasa, seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan stroke.
Endang menjelaskan bahwa delapan minggu pertama dalam kandungan adalah masa di mana terbentuknya cikal bakal yang menjadi otak, hati, jantung, ginjal, tulang, tangan, dan lengan. Sedangkan masa 1.000 hari terhitung dari masa 270 hari atau 9 bulan dalam kandungan ditambah 730 hari, yakni dua tahun pertama setelah kelahiran.
“Masa seribu hari ini dampaknya bisa bersifat permanen. Bila pada periode ini anak mengalami kurang gizi, tentunya akan sulit diperbaiki,” katanya.
Endang menilai Indonesia masih belum serius menanggapi persoalan ini. Padahal, kondisi tersebut merupakan masalah yang serius karena menyebabkan kemampuan kognitif anak menjadi rendah.
Selain itu, pola pemberian makan oleh orang tua pada anak juga banyak mengalami kekeliruan. Saat ini, lanjutnya, banyak orang tua yang memberikan asupan makan pada anak hanya berdasarkan “asal kenyang” saja. Padahal menurut piring keseimbangan gizi, porsi makan pada anak harus diperhatikan dengan sangat baik.
“Itu di piring keseimbangan gizi, nasi saja dikurangi jumlahnya. Jadi, bukan banyak makan nasi yang penting tapi sayur, buah, daging, dan ikan juga penting. Nasi sedikit saja yang penting karbohidrat masuk, protein terisi, vitamin juga ada. Jadi bukan nasi yang penting,” pungkasnya.
(G09)