Jakarta (Greeners) – Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengaku mendapat banyak keluhan dari pengusaha hutan pemegang izin terkait implemetasi tata usaha kayu melalui sistem daring (online).
Wakil Ketua APHI, Irsyal Yasman, saat melakukan pertemuan antara pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) yang difasilitasi Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dengan Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beberapa waktu lalu mengungkapkan, banyak pengusaha yang merasa kesulitan mengunggah data pohon yang dipanen dikarenakan ketiadaan sinyal.
“Memang mengunggah data diyakini bisa semakin mudah jika menggunakan v-sat. Masalahnya, penggunaan v-sat membutuhkan investasi yang besar,” ungkapnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Sabtu (06/02).
Selain itu, katanya, pengusaha juga mengeluhkan lambannya respons dari KLHK ketika sistem tidak berjalan. Untuk itu diharapkan ada tim khusus yang bisa langsung menyelesaikan persoalan teknis yang dihadapi tim di lapangan.
Kewajiban melakukan stock opname juga menjadi masalah. Aktivitas tersebut berjalan lamban karena keterbatasan SDM dan dana dinas kehutanan. Dampaknya beberapa perusahaan mengalami hambatan dalam pelaksanaan tata usaha kayu.
“Kalangan dunia usaha sesungguhnya berharap banyak dari pemberlakukan SIPPUH daring secara self asessment. Sistem ini akan memperlancar arus kayu dan bisa menekan ekonomi biaya tinggi, karena minim interaksi dengan petugas. Semuanya dilakukan secara daring,” katanya.
Di sisi lain, Dirjen PHPL Kementerian LHK Putera Parthama menyatakan akan memastikan pihaknya membenahi kekurangan tata usaha kayu secara daring. Terkait kewajiban stock opname misalnya, ujar Putra, sudah ada surat edaran dari Direktur Iuran dan Peredaran Hasil Hutan Awriya Ibrahim kepada seluruh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi seluruh Indonesia. Kedua instansi tersebut diharapkan bisa berkoordinasi sehingga pelaksanaan stock opname lebih cepat.
“Selain itu surat edaran itu juga menegaskan bahwa stock opname tidak diwajibkan untuk perusahaan yang telah mengimplementasikan SIPUHH secara konsisten dari hulu hingga hilir,” tandasnya.
Sebagai informasi, pemberlakuan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) daring dengan pengesahan mandiri (self asessment) mulai diberlakukan KLHK per 1 januari 2016. Dengan SIPUHH daring, pelaku usaha akan mencatatkan hasil produksi hutan mereka secara mandiri. Pencatatan itu berupa data-data pohon yang akan ditebang hingga laporan pembayaran dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Kedua pungutan itu merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor kehutanan.
Pemilik lahan memasukkan data-data tegakan pohon seperti jenis, diameter, jenis pohon, dan koordinat tanam ke dalam aplikasi khusus pada ponsel pintar. Adapun, koordinat pohon dapat ditentukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).
Data-data tersebut lantas dikirimkan ke dalam sistem SIPUHH. Sementara pelaku usaha juga menyimpan data tersebut dalam kertas dengan barcode yang akan ditempelkan di batang pohon.
Data-data pohon menjadi dasar dari penghitungan pungutan DR maupun PSDH. Sistem akan mengkalkulasi tarif PNBP yang harus dibayarkan kepada negara. Pengusaha kemudian membayar PNBP dan memasukkan bukti pembayaran ke dalam SIPUHH. Pembayaran PNBP sendiri sudah terintegrasi dengan Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI) milik Kementerian Keuangan.
Penulis: Danny Kosasih