Jakarta (Greeners) – Perubahan pola konsumsi yang banyak menggunakan kemasan plastik memicu meningkatnya sampah plastik ke perairan di Indonesia. Komposisi sampah plastik terus meningkat, di tahun 1995 masih sekitar 9 % tapi sekarang sudah mencapai 17 %.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengatakan, sampah plastik yang masuk ke lingkungan perairan akan menjadi persoalan selamanya karena tak bisa diurai.
“Mengacu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018, pemerintah berkomitmen mengurangi 70 persen sampah plastik ke laut pada tahun 2025,” katanya dalam The Antheia Project Konferensi Pers Kampanye #SayNoStyrofoam, baru-baru ini.
Hingga tahun 2021, jumlah capaian pengurangan sampah plastik ke laut telah mencapai 28,5 %. “Kita ada platform Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL). Dengan ini kita punya baseline sendiri sampah plastik yang ada di laut,” imbuhnya.
Novrizal menambahkan, pemerintah telah melakukan kampanye, aksi dan kebijakan yang untuk mengurangi sampah plastik ke laut secara masif. Pada tahun 2019, sampah plastik yang berkurang ke laut yaitu sebesar 8,10 %, pengurangan sampah tahun 2020 yaitu 15,3% dan 2021 yaitu 28,5 %. “Mudah-mudahan bisa kita capai 2025 nanti 70 %,” ucapnya.
Peta Jalan Pengurangan Sampah Plastik
Selain itu pemerintah juga berkomitmen mengimplementasikan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Selain itu juga mendorong dalam bentuk roadmap pengurangan plastik.
“Ada tiga item dalam food packaging yang akan kita phasing down dan phasing out, yaitu single use plastic bag, cutlery termasuk sedotan plastik dan styrofoam,” ungkap Novrizal.
Langkah ini, sambung Novrizal harus masyarakat dukung lewat perubahan perilaku untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik. Dengan adanya perubahan perilaku ini maka jumlah permintaan terhadap kemasan plastik dengan sendirinya akan berkurang.
“Termasuk styrofoam ya. Kita juga mendorong pengusaha industri daur ulang plastik melakukan daur ulang styrofoam menjadi bahan baku kembali,” paparnya.
Styrofoam Sulit Hancur di Alam
Sementara itu Co Founder The Antheia Project Ruhani Nitiyudo menyatakan, selama ini styrofoam sangat sulit hancur dan terurai di alam. Oleh karena itu, ia menekankan peningkatan kesadaran dalam masyarakat untuk mengurangi penggunaan styrofoam ini.
“Kita merasa harus memberikan kesadaran pada mereka untuk beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan. Padahal sebagai konsumen kita punya pilihan itu,” kata Ruhani.
Sebagai bentuk konkret kampanye pengurangan styrofoam, The Antheia Project akan menyelenggarakan beach clean up pada Sabtu 3 Desember 2022 di Permukiman Muara Baru Penjaringan, Jakarta Utara.
Kegiatan beach clean up keempat ini nantinya akan melibatkan masyarakat setempat hingga komunitas untuk lebih masif mengurangi penggunaan plastik.
Tak hanya itu, The Antheia Project juga aktif sosialisasi dan edukasi terkait ancaman bahaya styrofoam baik di lingkungan pendidikan hingga masyarakat luas.
Co Founder dan COO Garda Pangan Dedhy Bharoto Trunoyudho berpandangan, permasalahan sampah tak hanya menyangkut plastik tapi juga sampah makanan. Sebagai negara nomor kedua penghasil sampah makanan terbesar di dunia, Dedhy melihat masih banyak masyarakat Indonesia yang tak menghabiskan makanannya dan berujung food waste.
Ia juga menyorot masih banyaknya pengusaha yang memanfaatkan styrofoam sebagai wadah makanan. Oleh karena itu, Garda Pangan berkomitmen bekerja sama dengan pengusaha hotel, restoran hingga bakery untuk mengelola sampah makanan. Di samping itu juga turut mendorong penggunaan wadah makanan yang lebih ramah lingkungan.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin