Jakarta (Greeners) – Badan Restorasi Gambut (BRG) menyatakan bahwa satu juta hektar lahan di kawasan prioritas kerja BRG dapat dimanfaatkan dengan menggunakan dua skema, yaitu perhutanan sosial dan reforma agraria guna pemaksimalan lahan gambut untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna Safitri, mengatakan, untuk penerapan konsep pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan gambut, BRG akan berkordinasi dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT) termasuk juga dengan pengembangan komoditas lokal yang ramah gambut.
“Berdasarkan catatan Kemendes PDT, ada 2.945 desa yang berada di kawasan gambut di seluruh Indonesia. Nantinya seluruh desa tersebut dapat menggunakan dana desa untuk pembangungan kerakyatan, ekonomi dan infrastruktur,” jelas Myrna, Jakarta, Jumat (20/01).
BACA JUGA: BRG Siapkan Bisnis Model Untuk Paket Kebijakan Investasi Gambut
Perhitungan satu juta hektar lahan tersebut dihitung dari alokasi budidaya yang telah dipetakan berjumlah 500 ribu hektar dari total 2,4 juta hektar target restorasi BRG, 20 persen lahan kemitraan yang menjadi kewajiban pemegang konsesi di 1,4 juta hektar lahan gambut di kawasan budidaya, hingga 400 ribu hektar areal budidaya lainnya yang belum berizin.
“Kami juga telah melakukan komunikasi bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan karena berkaitan dengan perhutanan sosial,” tambahnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Nur Hidayati meminta agar pembuatan regulasi dan aksi pengembangan masyarakat di kawasan gambut turut melibatkan masyarakat setempat. Hal tersebut agar kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat tidak hilang karena pengaruh regulasi yang bersifat general.
BACA JUGA: Badan Restorasi Gambut: Ada Kesalahan Persepsi Soal Kerja BRG
Pemerintah, katanya, harus turut melindungi pengelolaan lahan berbasis masyarakat melalui target perhutanan sosial dan reforma agraria yang menjadi agenda kerja pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
Menurut Nuh Hidayati, perlindungan dari pemerintah dianggap sangat penting karena selama ini, dorongan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan cenderung mengarahkan kepada konsep pertanian monokultur dan industri agrikultur. “Seperti komoditas asli mereka itu atau bagaimana cara mereka membuka lahan, kan harus didukung dan diakomodir pemerintah,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih