Jakarta (Greeners) – Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Meski demikian, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Eka Soegiri mengakui secara teknis dan manajemen, pengelolaan taman nasional di Indonesia memang masih harus terus ditingkatkan agar dapat mencapai hasil yang lebih baik.
Ia mengungkapkan, peningkatan pengelolaan taman nasional diperlukan karena sering terjadinya gangguan di taman nasional, seperti adanya perambahan hutan, perburuan satwa langka, dan konflik dengan penduduk akibat adanya klaim bahwa lahan di dalam taman nasional adalah milik komunitas yang berada di sana.
“Hal lain adalah adanya pembangunan infrastruktur antara lain jalan, jembatan maupun instalasi lainnya yg masuk ke taman nasional. Ini tentu memerlukan kesepahaman semua pihak,” jelasnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Jumat (27/03).
Menurut Eka, perlu dibentuk task force atau tim gugus tugas yang berkaitan dengan klaim ataupun pengaduan masyarakat agar aduan bisa cepat ditangani dan diselesaikan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dengan mengedepankan aspek-aspek kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, dibutuhkan adanya upaya membangun model desa konservasi di luar taman nasional agar mereka (masyarakat di sekitar taman nasional) bisa merasakan manfaat dari taman nasional tanpa harus masuk dan mengganggu ekosistem yang ada.
“Upaya itu bisa dilihat di Sarongge di Taman Nasional Gede pangrango ataupun di desa desa sekitar Taman Nasional Komodo, maupun di sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan berpendapat lain. Kepada Greeners ia menyatakan bahwa jika dilihat secara umum, pengelolaan taman nasional di Indonesia masih jauh dari kata baik. Masih banyaknya kasus penebangan hutan dan konflik yang luar biasa yang terjadi pada masyarakat adat di wilayah Taman Nasional, menurutnya, memperlihatkan buruknya kualitas pemerintah dalam mengelola Taman Nasional.
Masyarakat adat, lanjutnya, saat ini masih menjadi korban dari pola represif yang dilakukan pemerintah, padahal pola tersebut menjadi sumber konflik antara pemerintah dan masyarakat adat. Abdon juga mengatakan bahwa selama ini masyarakat adat hanya menjadi penonton dalam upaya konservasi taman nasional.
“Sistem konservasi berbasis hak seharusnya menjadi prioritas. Tidak bisa masyarakat adat diusir seenaknya hanya karena fungsi taman nasional membuat mereka jadi tergusur,” tegasnya.
Menurut Abdon, taman nasional di seluruh Indonesia sebaiknya dirancang ulang atau dibangun kembali bersama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada di dalam dan di sekitar taman nasional. Hal ini harus segera dilakukan untuk mengurangi konflik dan mengefektifkan manajemen kawasan yang sedang berjalan saat ini.
Sebagai informasi, Indonesia memiliki kawasan taman nasional yang jumlahnya 50 unit dengan luas diperkirakan mencapai 16.375.253,31 hektare. Selain taman nasional, Indonesia juga memiliki 535 unit kawasan konservasi, yaitu kawasan penyangga cagar alam (249 unit), taman wisata alam (124 unit), penyangga suaka margasatwa (77 unit), taman hutan raya (21 unit), dan taman buru (14 unit). Dari keseluruhan potensi tersebut, 81 persen berada di daratan dan sisanya, 19 persen, ada di perairan.
Penulis: Danny Kosasih