Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui bahwa teknologi pengelolaan sampah menggunakan insenerator masih dibutuhkan oleh kota-kota besar seperti Jakarta. Pasalnya, kota-kota besar tersebut memiliki kuota sampah yang cukup besar. Untuk DKI Jakarta saja, 50 persen sampah rumah tangga berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Itu sebabnya tidak jarang tumpukan sampah di TPA Bantar Gebang runtuh akibat volume tinggi.
Menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tuti Hendrawati Mintarsih kepada Greeners mengatakan, jumlah sampah yang begitu besar di Jakarta tidak akan terkejar pengelolaannya jika tidak menggunakan teknologi yang besar pula. Hanya saja, dibutuhkan anggaran yang memadai untuk bisa menjadikan insenerator sebagai pilihan teknologi pengelolaan sampah yang akan digunakan.
“Jika anggarannya cukup, kota besar seperti DKI Jakarta memang masih membutuhkan insenerator untuk mengelola sampahnya, karena jika hanya mengandalkan TPA jelas tidak akan terkejar pengelolaannya,” tutur Tuti, Jakarta, Jumat (03/02).
BACA JUGA: LIPI Kembangkan Insenerator Plasma Ramah Lingkungan
Sedangkan untuk kota-kota kecil, Tuti mengatakan bahwa masih ada teknologi lain untuk pengelolaan sampah seperti teknologi gasifikasi dan pirolisis. Menurutnya, teknologi gasifikasi dan pirolisis lebih ramah lingkungan dan tidak mengeluarkan emisi. “Masih banyak opsi lainnya. Bahkan, dengan teknologi pirolisis, plastik bisa diolah menjadi bahan bakar,” katanya menambahkan.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) R Sudirman mengatakan, meskipun Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, namun pembangunan insinerator harus tetap berjalan, terutama untuk kota metropolitan besar di Indonesia. Pasalnya, perkembangan penduduk selalu berbanding lurus dengan jumlah timbunan sampah yang ada di TPA.
“Contohnya di Kota Surabaya yang berhasil melakukan pengurangan hingga 37%, sisanya 63% kan masih dibawa ke TPA. Kalau itu prosesnya lama dibawa ke TPA (sampah) akan numpuk,” ujar Sudirman.
BACA JUGA: Pengelolaan Sampah, BPPT Tawarkan Teknologi Pemusnahan Sampah
Pemerintah lewat KLHK menyarankan agar sampah dibakar menggunakan insinerator yang memenuhi baku mutu yang sudah ditentukan melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengelolaan Sampah Secara Termal. Nantinya, yang akan masuk ke TPA hanya residu sisa pembakaran.
“Untuk kota kecil, tidak diperbolehkan sama sekali untuk membangun insenerator melainkan menjalankan penuh amanat UU Pengelolaan Sampah untuk melakukan pengelolaan dari hulu ke hilir dengan melakukan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle),” jelasnya.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Isnawa Adji pun mengakui bahwa penggunaan insenerator untuk pengelolaan sampah dalam volume besar memang masih sangat dibutuhkan. Ia mengambil contoh, penerapan insenerator di kota Tokyo, Jepang. Kota yang dikenal sangat ramah lingkungan ini pun menggunakan cukup banyak insenerator.
“Jadi memang Perpres itu jangan dilihat sepihak saja. Intinya kan bagaimana sampah ini bisa dikelola dengan baik. Polutan yang dihasilkan pun jika serius masih bisa ditekan. Sedangkan listrik dari pembangkit itu hanya bonus saja. Yang penting bagaimana sampahnya bisa terkelola,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih