Pengelolaan Kawasan Konservasi Untungkan Ekonomi Masyarakat

Reading time: 3 menit
Diskusi terkait potensi kawasan konservasi di Indonesia. Foto: Dini Jembar Wardani
Diskusi terkait potensi kawasan konservasi di Indonesia. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Pengelolaan kawasan konservasi berpotensi besar untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara. Namun, pengelolaan tersebut harus berkelanjutan dengan melibatkan peran masyarakat lokal. Hal itu untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi dari ancaman kerusakan.

Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pengelolaan Kawasan Konservasi Kementerian Kehutanan, Dian Risdianto, mengungkapkan saat ini di Indonesia terdapat 564 kawasan konservasi dengan total luas 27,14 juta hektare. Kawasan konservasi ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya), serta taman buru.

Pada tahun 2024, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi tercatat mencapai 124 miliar rupiah. Sementara itu, total kunjungan wisatawan hingga akhir Agustus 2024 mencapai tiga juta orang.

BACA JUGA: KEHATI Rancang Skema Dana Abadi untuk Raja Ampat

Salah satu contoh pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat dapat dilihat di Raja Ampat, Papua Barat. Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi di Raja Ampat ini telah menginspirasi Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk mendeklarasikan wilayahnya sebagai provinsi pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal ini, Konservasi Indonesia sebagai yayasan turut serta dalam menganalisis dampak ekonomi dari pendekatan pembangunan berkelanjutan di Papua. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan mengurangi aktivitas yang merusak lingkungan, khususnya di lahan gambut dan mangrove, Provinsi Papua Barat berpotensi menghasilkan pendapatan sekitar 155 juta USD.

Vice President Program Konservasi Indonesia, Fitri Hasibuan menjelaskan bahwa pendapatan ini berasal dari berbagai kegiatan ekonomi berkelanjutan, seperti pariwisata dan agroforestri. Meskipun ada kerugian akibat pembatasan izin konsesi, seperti pembukaan lahan kelapa sawit, kegiatan ekonomi berkelanjutan dan nilai konservasi menghasilkan manfaat sebesar 155 juta USD.

“Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan berarti tidak ada pembangunan sama sekali. Pembangunan dikelola dengan hati-hati dan dirancang berdasarkan prinsip-prinsip kehati-hatian,” kata Fitri dalam diskusi “Menakar Potensi Ekonomi Kawasan Konservasi” pada Sabtu (23/11).

Ilustrasi kawasan konservasi di Raja Ampat. Foto: Freepik

Ilustrasi kawasan konservasi di Raja Ampat. Foto: Freepik

Raja Ampat, Keberhasilan Pengelolaan Kawasan Konvervasi

Konservasi Indonesia juga mencatat keberhasilan pengelolaan kawasan perairan di Raja Ampat yang melibatkan masyarakat lokal. Saat ini, lebih dari tiga juta hektare kawasan konservasi telah terbentuk di wilayah Kepala Burung. Raja Ampat mencakup sekitar satu juta hektare dari luas tersebut.

Fitri menjelaskan, salah satu dampak positif dari konservasi ini adalah munculnya sumber pendapatan baru. Salah satunya dari sektor pariwisata yang kini berkembang pesat.

Upaya konservasi di Raja Ampat berlangsung sejak awal 2000-an dan baru mulai terasa manfaatnya sekitar tahun 2013. Salah satu contoh keberhasilan ini terjadi di Kampung Friwen saat masyarakat pertama kali membangun homestay pada tahun 2013. Kemudian, pada tahun 2015, jumlah homestay di Kampung Friwen meningkat menjadi dua. Namun, data tentang perkembangan homestay baru dapat terpantau lebih jelas pada tahun 2019, ketika jumlahnya mencapai empat.

BACA JUGA: Terumbu Karang yang Rusak di Raja Ampat Mencapai 18.882 Meter Persegi

“Ketika kami mengunjungi Kampung Friwen pada tahun 2023, jumlah homestay sudah berkembang pesat. Dari sekitar 50 kepala keluarga (KK), 15 di antaranya memiliki homestay. Artinya, sekitar 30% masyarakat setempat terlibat dalam bisnis homestay,” tambah Fitri.

Mereka menyewakan satu kamar homestay dengan harga 550 ribu rupiah per malam tanpa fasilitas pendingin ruangan. Uniknya, bangunan homestay itu terbuat dari bambu dan jerami. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat tidak hanya berperan dalam melestarikan alam, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru bagi diri mereka sendiri.

Lebih dari itu, masyarakat Kampung Friwen juga aktif menjaga alam mereka dengan melawan praktik pengeboman ikan. Menurut Fitri, ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menerima pesan konservasi. Bahkan, mereka menyadari bahwa keberlanjutan ekosistem adalah kunci untuk keberlangsungan sumber pendapatan mereka.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top