Jakarta (Greeners) – Pemerintah menyatakan akan berusaha mencari jalan keluar terbaik terutama bagi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) berskema kerjasama pemerintah dan swasta yang telah berlangsung. Hal ini dilakukan sehubungan dengan pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dan memberlakukan kembali UU No. 11/1974 tentang Pengairan pada tanggal 18 Februari lalu.
Direktur Pengembangan Air Minum Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Mochammad Natsir kepada Greeners menyatakan untuk saat ini kelanjutan proyek-proyek tersebut menjadi sulit untuk dipastikan karena harus menunggu hasil kajian dari aspek hukum.
“Sejumlah proyek SPAM kerjasama pemerintah dan swasta terancam tidak dapat dilanjutkan setelah MK membatalkan UU No. 7/2004. Nanti akan diselidiki mana yang bisa dilanjutkan dan mana yang tidak. Masih dibahas secara intensif di lingkungan Kem PU-Pera,” ungkapnya, Jakarta, Sabtu (14/03).
Sementara itu, dari skenario pendanaan air minum 2015-2019, Natsir menjelaskan, untuk mencapai akses aman air minum 100% pada 2019, diperkirakan membutuhkan investasi Rp 253,8 triliun. Dari kebutuhan anggaran tersebut, pemerintah melalui APBN hanya sanggup memenuhi 28%.
Dengan demikian, lanjutnya, pemerintah membutuhkan sumber pendanaan lain yang besar di luar APBN. Salah satu sumber pendanaan yang sangat diandalkan adalah swasta. Dalam hal itu, Natsir mengatakan, swasta diharapkan dapat memenuhi sekurang-kurangnya 11% dari total kebutuhan investasi.
Manajer Kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), M. Islah mengungkapkan, air adalah kebutuhan mendasar bagi masyarakat luas. Pengelolaan air semestinya tidak lagi ditangani pihak swasta, tetapi dilakukan BUMN dan BUMD.
Ia mendesak pemerintah melakukan langkah kongkrit atas pengelolaan air. Termasuk pemberdayaan BUMD di berbagai daerah. Menurutnya, putusan MK sangat berdampak bagi masyarakat di daerah sehingga putusan ini dapat menjadi momentum bagi pemerintahan Jokowi untuk menata kembali pengelolaan sumber daya air.
“Kalau proyek-proyek yang swasta itu kan bisa diambil alih oleh negara,” katanya.
Sebagai informasi, masyarakat petani di Kabupaten Klaten mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Klaten, Wening Swasono, menyatakan dibatalkannya undang-undang tersebut akan berdampak positif dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Menurutnya, selama ini UU No.7/2004 menjadi hambatan petani di wilayah Kabupaten Klaten dalam mengembangkan sektor pertanian karena petani kesulitan mendapatkan air irigasi. Minimnya ketersediaan air irigasi pertanian di wilayah itu merupakan dampak keberadaan PT. Tirta Investama yang berada di Desa Wangen, Kecamatan Polanharjo.
Perusahaan asing yang memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) merek Aqua tersebut telah leluasa mengeruk untung dari eksploitasi terhadap sumber air di sana. Pihaknya juga menolak pabrik tersebut beroperasi di Klaten lantaran merugikan petani.
Di Indonesia sendiri, industri AMDK terus berkembang seiring peningkatan kebutuhan secara nasional dan juga pertumbuhan ekonomi. Menurut data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), kebutuhan AMDK pada 2013 sebesar 21,34 miliar liter, dan meningkat menjadi 23,9 miliar liter pada 2014. Sedangkan pada tahun 2015, diperkirakan meningkat 11 persen menjadi 26,5 miliar liter.
Penulis: Danny Kosasih