Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Manajer Kampanye Walhi, Edo Rakhman, mengatakan, keluarnya Surat Edaran Nomor 04/SE/M/2015 tentang Izin Penggunaan Sumber Daya Air dan Kontrak Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Perpipaan pada tanggal 19 Maret 2015, justru memberi ruang penguasaan atas sumber-sumber air bagi kelompok-kelompok swasta.
Surat edaran ini, terangnya, terkesan mengabaikan putusan MK yang telah membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam putusan tersebut, MK juga memberlakukan kembali UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan, sehingga segala bentuk pengusahaan air dan atau sumber-sumber air harus berlandaskan atas undang-undang yang diberlakukan pasca putusan tersebut.
“Walhi menegaskan bahwa surat edaran tersebut terkesan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pembatasan secara ketat dalam pengusahaan air. Pembatasan ini sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa sebagaimana yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi,” terangnya kepada Greeners, Jakarta, Selasa (07/04).
Edo menjelaskan, pada poin dua dalam surat edaran tersebut, pemerintah tetap memberlakukan izin penggunaan air permukaan yang telah diterbitkan sebelum putusan MK dikeluarkan meski “katanya” akan dilakukan evaluasi dengan menggunakan enam prinsip pembatasan yang dikeluarkan MK.
Begitu juga dengan izin-izin baru yang sedang dalam proses pengurusan dan izin perpanjangan, juga akan dilakukan evaluasi dengan menggunakan keenam prinsip tersebut. Tapi yang melakukan evaluasi, lanjut Edo, hanya dilakukan oleh instansi pemberi izin tanpa ada pelibatan masyarakat sipil dalam proses tersebut.
“Tentu kebenaran evaluasi dan independensi proses tersebut patut diragukan karena tidak ada kontrol langsung dari masyarakat sipil, khususnya masyarakat yang saat ini sedang bermasalah dengan sumber daya air,” tutur Edo.
Di lain pihak, Direktur Pengembangan Air Minum Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Mochammad Natsir kepada Greeners membantah tudingan yang datang kepada institusinya terkait keluarnya surat edaran tersebut.
Natsir mengatakan bahwa dalam putusan MK tidak dinyatakan bahwa swasta tidak diperbolehkan sepenuhnya dalam hal memberikan akses air bersih pada masyarakat. Ia menegaskan bahwa enam poin yang ada di dalam surat edaran tersebut masih sesuai dengan putusan MK dan kendali akses air bersih juga masih ada ditangan negara.
“Surat edaran tersebut masih sesuai dengan batasan dari putusan MK dan UU No. 11 Tahun 1974. Surat edaran itu juga menerangkan tentang renegosiasi kontrak kerjasama antara swasta dan pemerintah yang sudah terlanjur panjang,” tuturnya.
Lebih lanjut Natsir mengatakan, “Kita butuh swasta untuk bisa mendukung pembiayaan SPAM yang memang anggarannya cukup besar dan pemerintah sendiri anggarannya terbatas.”
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Natsir menjelaskan kalau Surat Edaran tersebut keluar atas dasar sejumlah proyek SPAM KPS yang terancam tidak dapat dilanjutkan setelah MK membatalkan UU No. 7/2004. Sementara itu, dari skenario pendanaan air minum 2015-2019, Natsir menjelaskan, untuk mencapai akses aman air minum 100% pada 2019 ditaksir membutuhkan investasi Rp253,8 triliun. Dari kebutuhan anggaran tersebut, pemerintah melalui APBN hanya akan sanggup memenuhi 28%.
Dengan demikian, lanjutnya, pemerintah membutuhkan sumber pendanaan lain yang besar di luar APBN. Salah satu sumber pendanaan yang sangat diandalkan adalah swasta. Dalam hal ini, swasta diharapkan dapat memenuhi sekurang-kurangnya 11% dari total kebutuhan investasi.
Penulis: Danny Kosasih