Jakarta (Greeners) – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) masih terus terjadi di sejumlah bandara dan pelabuhan di Indonesia. Menurutnya kelonggaran pengawasan di lapangan masih berlangsung lantaran tak dilibatkannya petugas dari kementerian.
“KLHK menyarankan ada petugas kita masuk di dalam bagian karantina. Selama ini tidak bisa masuk ke dalam dan hanya dari luar saja. Jadi, tidak mudah mengontrol secara langsung,” ujar Siti dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu, (08/07/2020).
Baca juga: Zat Kimia Klorin Cemari Sungai Kalimas Surabaya
Data KLHK mencatat konflik dalam pengawasan dan peredaran ilegal TSL pada 2020 mencapai 77 kejadian. Di dalamnya terdapat kasus 22 gajah Sumatera, 22 harimau Sumatera, 11 orangutan, dan 22 buaya muara. Hasil penyitaan, penyerahan, dan penyelamatan TSL di pintu masuk bandara dan pelabuhan selama Januari hingga Juni 2020 mencapai 40.142 ekor yang didominasi satwa burung.
“Dari catatan ini saya kira harus dideteksi pelabuhan-pelabuhan yang menjadi simpul, seperti Bali, Surabaya, Sulawesi Selatan, Maluku, termasuk Kalimantan Timur,” ujar Siti.
Guna mencegah penyelundupan tumbuhan dan satwa liar, Komisi IV DPR RI menganjurkan agar KLHK bekerja sama dengan Kementerian Pertanian maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Kami mendorong agar petugas KLHK juga terlibat dalam penyelenggaraan karantina tumbuhan dan hewan langka yang dilindungi pada setiap pintu masuk dan keluar satwa liar di seluruh wilayah Indonesia,” kata Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin.
Pimpinan komisi yang membidangi pertanian, lingkungan hidup dan kehutanan serta kelautan itu juga meminta agar KLHK berkolaborasi dengan Kementerian Riset dan Teknologi untuk menertibkan pemberian izin keluar masuk kawasan hutan bagi peneliti luar. Selain itu, peneliti juga dilarang membawa keluar sampel penelitian dalam bentuk apa pun tanpa izin.
Pengiriman Satwa Liar Ilegal
Sementara itu pada bulan lalu ditemukan kasus pengiriman satwa liar burung tanpa dokumen Surat Angkutan Tumbuhan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) di Bandara Internasional Kualanamu, Sumatera Utara, Jumat, (26/06/2020) dini hari.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Hotmauli Sianturi mengatakan, pada Jumat pukul 00.30 WIB, timnya mendapat informasi bahwa barang bukti tersebut berada di Kargo Ring I Bandara Internasional Kualanamu.
Tim kemudian berkoordinasi dengan Petugas Kargo Ring I dan mengecek kargo. Hasilnya, ditemukan satwa burung liar yang tidak dilengkapi dokumen SATS-DN melainkan hanya Surat Sertifikat Kesehatan Hewan dari Balai Karantina.
“Sesuai SOP Penindakan pada Kargo Ring I, maka barang tersebut dikembalikan ke kargo pengirim. Di lokasi inilah tim melakukan penindakan dengan merampas barang tanpa dokumen SATS-DN tersebut. Pada pukul 03.00 WIB, barang bukti dievakuasi ke kantor BBKSDA Sumatera Utara untuk dilakukan pemeriksaan,” ucap Hotmauli.
Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Dapat Menurunkan Prevalensi Perokok
Dari hasil pemeriksaan dan pengecekan terhadap barang bukti tersebut, ditemukan beberapa jenis burung antara lain, Kucica Kampong atau Kacer (Copsychus saularis) sebanyak 80 ekor (70 ekor hidup, 10 ekor mati), Sikatan Bakau atau Tledekan Bakau (Cyornis rufigastra) sebanyak 88 ekor (58 ekor hidup, 27 ekor mati), Kerak Kerbau atau Jalak Kebo (Acridotheres javanicus) sebanyak 1.420 ekor (1.375 ekor hidup, 45 ekor mati), dan Murai Batu (Copsychus malabaricus) sebanyak 2 ekor.
Karena tingginya kasus pengiriman satwa liar tanpa dokumen, pemerintah daerah menyepakati bahwa SATS-DN dan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) menjadi syarat untuk pengiriman satwa liar.
Keputusan tersebut merupakan hasil rapat yang diikuti oleh Kepala BBKSDA Sumatera Utara, Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Medan, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara, Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Medan, Dinas Pertanian Deli Serdang dan beberapa pengguna jasa di Balai Karantina Pertanian Kelas II Medan.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani