Jakarta (Greeners) – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap tiga perusahaan yang mencemari Daerah Aliran Sungai Citarum. Namun, satu dari tiga perusahaan, yaitu PT KAWI diputus dengan akta van dading (damai) dan membayar gugatan sebesar Rp375 juta. Sedangkan PT HAYI dan PT KKTI dihukum pidana dengan mengganti kerugian materiil sebesar Rp12 miliar dan Rp4,25 miliar.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan tiga perusahaan ini dikenakan sanksi perdata. Mereka diminta membayar ganti rugi yang ditetapkan KLHK sesuai ketentuan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua perusahaan yakni PT HAYI dan PT KKTI, masing-masing membayar gugatan sebesar Rp12,198 miliar dan Rp18,2 miliar.
Baca juga: Pemerintah Perbaiki DAS untuk Atasi Banjir
“Sebelum dilakukan proses penyelesaian sengketa oleh KLHK, pemda Kota Cimahi sudah lebih dahulu melakukan sanksi administratif kepada para perusahaan Hasilnya para perusahaan tidak mentaatinya. Saat ini kami juga sedang melakukan proses penyidikan untuk mengenakan sanksi pidana terhadap para perusahaan,” ujar Ragil saat dihubungi Greeners, Kamis, (27/02/2020).
Ragil mengatakan ganti rugi materiil berdasarkan hasil verifikasi dan analisis laboratorium. Penghitungannya dilakukan oleh ahli valuasi yang ditunjuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum. Ketiga perusahaan tersebut wajib memenuhi ganti rugi materiil berdasarkan Peraturan Meteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014. Sedangkan untuk biaya pemulihan lingkungan, kata Ragil, KLHK masih menghitungnya.
“Kita belum menghitung biaya pemulihan sungai. Kalau dihitung tidak hanya segmen, tetapi sungai hulu sampai hilir dan yang digugat pun harus semua perusahaan yang ada di sungai tersebut. Ada keterbatasan data dan perlu dukungan hasil pengawasan, khususnya dari daerah,” ucapnya.
Sementara, Fajri Fadhillah Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan pemerintah bisa lebih efisien melakukan pemulihan lingkungan melalui sanksi administratif berdasarkan Pasal 82 UU 32/2009. Sehingga tidak perlu melalui proses yudisial yang memakan waktu lebih lama.
“Pemerintah bisa meminta ahli atau menunjuk pihak ketiga untuk menghitung biaya pemulihan. Sekaligus melakukan pemulihan dengan biaya (dari) pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran,” ujar Fajri.
Selain tiga pabrik tersebut, PT United Colour Indonesia (PT UCI) masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Bale Bandung. Jumlah perkara gugatan serupa akan terus bertambah sesuai kasus yang terjadi dengan melibatkan Tim Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung.
Baca juga: Pemerintah Dinyatakan Bersalah atas Kasus Pencemaran Limbah
Menurut Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, pemerintah tidak akan berhenti menyeret pelaku pencemaran dan kejahatan lingkungan hidup maupun kehutanan lain ke pengadilan. Saat ini lebih dari 780 kasus lingkungan hidup dan kehutanan sudah diproses di pengadilan.
Ia menuturkan pelaku pencemaran lingkungan hidup di DAS Citarum harus dihukum seberat-beratnya. Sebab saat ini pemerintah sedang merestorasi daerah aliran sungai tersebut. Menurutnya harus ada efek jera bagi korporasi yang tidak serius berkomitmen mengelola air limbah maupun limbah bahan beracun dan berbahaya yang dihasilkan. Rasio berharap pengawasan dan penegakan hukum dapat membangun budaya kepatuhan dan efek jera.
“Hukuman berat harus dijatuhkan kepada pelaku pencemaran lingkungan hidup karena ini merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (Extra Ordinary Crime). Karena berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi, kerusakan ekosistem pada wilayah yang luas dalam waktu lama,” ujar Rasio.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani