Pengadaan Beras Bulog Anjlok 85 Persen Karena Kemarau

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co

Malang (Greeners) – Musim kemarau tahun ini membuat pengadaan beras Bulog Sub Divre Malang dari petani anjlok hingga 85 persen dari biasanya. Pengadaan beras Bulog dari petani rata-rata 100 ton beras, namun selama musim kemarau hanya 15 ton per hari.

Kepala Bulog Sub Divre Malang, Langgeng Wisnu Adi Nugroho, mengkhawatrikan target pengadaan beras Bulog Malang tahun ini tidak terealisasi. Sebab, hingga awal pekan ini saja baru mencapai 45.200 ton, sedangkan target pengadaan tahun ini sebanyak 70 ribu ton. “Hingga akhir tahun mungkin hanya terealisasi 50 ribu ton saja,” kata Wisnu, Kamis (16/10/2014).

Wisnu mengakui, persoalan ini hampir merata di sejumlah daerah karena kekeringan juga melanda di berbagai daerah di Indonesia sehingga Bulog kesulitan memenuhi target pengadaan beras dari petani. Selain masalah kekeringan, para petani juga memilih menjual hasil panennya ke pasar umum dari pada ke Bulog. Harga di pasaran memang dihargai Rp 7.200 per kilogram, lebih mahal Rp 600 dari harga beli Bulog sebesar Rp 6.600 sesuai harga pembelian pemerintah (HPP).

Wisnu memastikan, minimnya pengadaan beras tidak memengaruhi kebutuhan beras untuk keluarga miskin (raskin). Raskin tetap aman, kata Wisnu, karena masih ada stok 26.844 ton beras dan masih mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga sasaran (RTS) selama lima bulan ke depan. “Kalau cuaca cepat normal, persediaan ke depan otomatis aman,” katanya.

Meski musim kemarau lebih panjang, Bupati Malang, Rendra Kresna, mengaku produksi beras di Kabupaten Malang selama tahun 2014 ini surplus 65 ribu ton, bahkan kelebihan ini untuk memasok beras ke sejumlah daerah di Jawa Timur.

Ia mengakui, para petani di Malang saat ini mulai mengembangkan pola pertanian dengan System of Rice Intensification (SRI). Ini untuk mengatasi persoalan merosotnya pasokan air dan keterbatasan lahan pertanian yang terus merosot di Malang yang saat ini seluas 45 ribu hektare lahan sawah. “Dengan pola ini, per hektare bisa tembus 10 ton sampai 12 ton,” kata Rendra.

Ia yakin, persoalan minimnya air untuk irigasi dan keterbatasan lahan bisa diatasi dengan menggunakan pola tanam SRI. Sebab, pola tanam SRI tidak membutuhkan air yang berlimpah seperti cara tanam padi konvensional.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang, Tomy Herawanto, menambahkan, pola tanam SRI terbukti mampu meningkatkan hasil produksi. Selain itu, dengan pengelolaan yang intensif dan pemberian pupuk organik dan ramah lingkungan juga menghemat biaya. Lonjakan produksi gabah dengan pola SRI umumnya meningkat dari 6 ton menjadi 8 ton.

(G17)

Top