Jakarta (Greeners) – Upaya mendorong penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) agar setara dengan lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dari Uni Eropa melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, terancam kandas.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI No. 66/M-DAG/PER/8/2015 yang mengubah beberapa ketentuan dalam Permendag RI No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan kini memungkinkan dengan adanya Deklarasi Ekspor (DE) untuk melakukan ekspor. Deklarasi Ekspor sendiri adalah surat pernyataan dari IKM (Industri Kecil dan Menengah) Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) bahwa barang yang diekspor menggunakan sumber bahan baku yang telah memenuhi persyaratan legalitas.
Keputusan ini, menurut Aditya Bayunanda, Forest Commodities Market Transformation Leader WWF Indonesia, menjanjikan bagi sebagian eksportir produk kayu, namun juga mengancam kesempatan Indonesia sebagai negara pertama yang menyediakan produk kayu berlisensi FLEGT di pasar Eropa.
“Deklarasi Ekspor merupakan celah yang menyebabkan Uni Eropa mengisyaratkan mundur untuk memberi pengakuan terhadap sistem legalitas kayu Indonesia sebagai syarat untuk mendapatkan kemudahan khusus di pasar negara anggotanya,” jelas Adit kepada Greeners, Jakarta, Selasa (29/09).
Dalam ketentuan VPA, kata Adit, Indonesia hanya akan mengekspor ke negara-negara Uni Eropa produk-produk kayu legal yang telah terverifikasi dan berlisensi FLEGT, dimana SVLK telah disepakati akan menjadi lisensi FLEGT. Dengan adanya Deklarasi Ekspor, maka akan menjadi celah yang memungkinkan bagi produk kayu yang belum terverifikasi legalitasnya dapat diekspor.
“Terlepas dari semangat pemberlakuan DE untuk mendukung industri kecil, tapi tak seharusnya mengorbankan SVLK. SVLK saat ini merupakan alat paling inovatif yang telah dikembangkan di Indonesia untuk memerangi penebangan liar. Sejatinya dapat dicari solusi dengan menyertakan eksportir skala kecil ke dalam sistem SVLK sehingga manfaat lisensi FLEGT juga bisa dirasakan oleh mereka,” katanya.
Padahal, penggunaan SVLK dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan. Pada tahun 2013 sebesar 6 milliar dollar AS dan pada tahun 2015 hingga bulan Agustus saja telah mencapai nilai 7,1 milliar dollar AS. Bila dibandingkan dengan nilai ekspor yang hanya menggunakan DE sebesar 140 juta dollar AS maka tidak masuk akal apabila DE dipertahankan dan mengakibatkan kegagalan Indonesia diakui dalam lisensi FLEGT.
Sebagai informasi, lisensi FLEGT sendiri adalah lisensi yang menjamin kayu dari negara-negara VPA dipanen, diproses dan diekspor dengan menaati semua peraturan perundangan nasional yang berlaku. Dari enam negara yang saat ini telah menandatangani VPA, Indonesia merupakan satu-satunya negara dari Asia, dengan Uni Eropa. Keenam negara tersebut saat ini sedang mengembangkan sistem yang diperlukan untuk mengontrol, memverifikasi, dan memberikan lisensi bagi kayu legal.
Penulis: Danny Kosasih