Jakarta (Greeners) – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengungkapkan bahwa terdapat dua motif transhipment yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Pertama, transhipment atau bongkar-muat ikan di laut untuk membawa ikan langsung ke luar negeri. Dan, kedua, transhipment di dalam negeri namun dimaksudkan untuk mengacaukan data pelaporan tangkapan yang menyebabkan terjadinya under-reporting atau pelaporan yang dimanipulasi.
Ketua Dewan Pembina KNTI, Riza Damanik menyatakan KNTI meminta pemerintah untuk bergegas memperketat pengaturan bongkar-muat ikan di laut dan melibatkan nelayan dalam proses penyusunannya.
“KNTI dapat memahami kebijakan (melarang seluruh transhipment) yang diambil saat ini sebagai kebijakan temporer atau sementara menuju pengaturan transhipment yang benar-benar menguntungkan rakyat Indonesia. Namun, nelayan juga harus diajak berkonsultasi karena mereka yang merasakan dampak dari transhipment tersebut,” terang Riza saat dikonfirmasi oleh Greeners, Jakarta, Selasa (27/01).
Lebih lanjut, Riza mengungkapkan, bahwa transhipment bukanlah barang haram dalam aktivitas usaha perikanan tangkap. Namun, tambahnya, perlu diingat kalau kepentingan mendasar dari transhipment adalah efektivitas dan efisiensi dalam penggunakan faktor-faktor produksi, utamanya bahan bakar minyak.
“KNTI setuju dan mendukung pemerintah untuk memberantas transhipment ‘abal-abal’ yang merugikan negara, terutama untuk komoditas tuna. Di sinilah tantangan pemerintah dalam memilah dan memilih, hingga menutup rapat praktik transhipment ‘abal-abal’ itu,” tambah Riza.
Sementara itu, Sekretaris Jendral Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaja menyatakan bahwa KKP akan mengeluarkan beleid atau langkah baru untuk melengkapi ketentuan pelarangan alih muatan kapal atau transhipment yang dalam pelaksanaannya telah merugikan pelaku usaha.
Ia mengatakan, langkah tersebut tidak merevisi atau mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) Nomor 57 Tahun 2014, namun hanya mengatur sifat khusus dalam kondisi tertentu atau pengecualian untuk melakukan transhipment.
Sifat-sifat khusus atau pengecualian yang dimaksud adalah dengan mengadopsi standar praktek transhipment yang ditentukan Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs), namun tetap disesuaikan dengan kondisi perairan lokal.
“Standar yang akan diatur spesifik itu antara lain kapal pengangkut harus didaftarkan, memiliki observer, menentukan koordinat dan menyalakan vessel monitoring system (VMS) dalam pelaksanaanya,” tutur Sjarief.
Sebagai informasi, larangan transhipment diatur dalam PermenKP Nomor 57 Tahun 2014 tentang perubahan kedua atas PermenKP Nomor 30 Tahun 2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia, yang disahkan pada akhir November tahun lalu.
Pasal 37 ayat 6 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI).
Dalam pasal 9 peraturan tersebut pula dinyatakan bahwa setiap kapal yang tidak mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan akan diberikan sanksi pencabutan SIPI atau SIKPI.
(G09)