Jakarta (Greeners) – Kementerian Riset dan Teknologi melalui Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Profesor Dr. Ocky Karna Radjasa menyampaikan bahwa jumlah penelitian mengenai sampah laut masih sangat terbatas. Menurutnya hal tersebut menyebabkan inovasi teknologi di sektor pengelolaan sampah tidak berkembang dengan baik dan menjadikan masalah sampah kian buruk.
“Minimal data-data yang terkait riset dan inovasi saat ini kita dorong untuk diadopsi dan direkayasa sehingga bermanfaat dalam penanganan sampah laut,” ujar Ocky pada acara webinar “Inovasi Penanganan Sampah untuk Laut yang Berkelanjutan”, Kamis (11/06/2020).
Ocky mengatakan penelitian dan pintasan pengelolaan sampah akan diprioritaskan dengan mendorong berbagai tema di bidang sosial humaniora, pengembangan rekayasa teknologi, dan pembuatan inovasi. Topik yang sudah teridentifikasi sebagai permasalahan penanganan sampah laut, kata dia, akan diprioritaskan pada pendanaan tahun ini hingga empat tahun mendatang.
Baca juga: Kerusakan Laut Indonesia Berlangsung Sepanjang 25 Tahun Terakhir
Kemenristek menyebut telah mendanai dan melakukan sejumlah kajian maupun inovasi penanganan sampah bersama masyarakat maupun universitas. Namun, berdasarkan rekapitulasi dana selama lima tahun terakhir, pemerintah hanya mendanai 475 penelitian dengan total anggaran Rp32 miliar. Sementara pada sektor lain nilainya mencapai Rp1,4 triliun.
Adapun lima program yang dilaksanakan, di antaranya Program Pengembangan Desa Mitra, Program Kemitraan Wilayah, Program Pengembangan Usaha Produk Intelektual Kampus, Program Hi-Link atau pemberdayaan kelompok wanita nelayan pesisir pantai, dan Program Kemitraan Masyarakat.
Semua inovasi tersebut diharapkan akan mengurangi beban sampah di laut. Ocky mengatakan proses pengelolaan sampah yang kurang efektif di daratan menyebabkan kebocoran ke wilayah perairan dan menambah permasalahan sampah.
Pada 2010, Indonesia menyumbang sebesar 10 persen sampah plastik laut global. Distribusi tren yang sangat mirip juga diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2025 (Our World in Data, 2018). Data Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman 2018 mencatat, 80 persen sampah laut di Indonesia berasal dari darat dan 30 persen di antaranya dikategorikan sebagai sampah plastik. Setiap tahun 1,29 juta ton sampah plastik masuk ke perairan Indonesia dan terakumulasi dengan sampah lokal.
Oleh karena itu, Kemenristek tengah mengembangkan alga mikro yang dapat memakan plastik di laut. Ocky menyampaikan, berdasarkan penelitian di Jepang pada 2016, bakteri jenis Ideonella sakaiensis 201-F6 dapat memakan plastik.
“Bakteri tersebut menghasilkan enzim yang disebut PETase yang akan memotong kandungan kimia pada plastik. Microalgae ini bisa menggunakannya sebagai sumber makanan sehingga punya potensi untuk bio-recycle,” ujarnya.
Ancaman Mikroplastik Bagi Biota Laut
Meningkatnya produksi dan penggunaan plastik tanpa disertai pengelolaan yang memadai mengakibatkan sampah plastik di lingkungan maupun lautan terus berakumulasi.
Profesor Dr. Akbar Tahir, Ketua Riset Sampah Plastik di Lautan, Universitas Hasanuddin menuturkan mikroplastik yang berukuran 1 µm hingga <5 milimeter telah mengendap di sedimen maupun laut dunia. Konsentrasinya mencapai 100.000 item per meter kubik dan telah terdeteksi di berbagai biota dalam dua dekade terakhir. Ikan dan avertebrata lain, kata dia, kerap menyangka mikroplastik sebagai makanan terutama yang menempel atau tumbuh dalam suatu permukaan (biofouling).
Baca juga: Produsen Didorong Lakukan Inovasi untuk Mengurangi Sampah Plastik
“Saat ini jumlahnya ada 6 sampai 7 triliun lembar di lautan dunia sebagai bahan makanan di lautan,” ujar Akbar.
Selain berasal dari 86 titik di Indonesia, menurutnya sampah plastik di lautan juga bersumber dari limpasan sampah dari China, Pasifik Utara, dan Samudera Hindia. “Mereka saling mentransfer sampah-sampah plastik dan masuk di wilayah Indonesia,” ucapnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani