Jakarta (Greeners) – Para peneliti di Permafrost, Siberia, Rusia berhasil menemukan ‘virus zombie’ yang telah terkubur puluhan ribu tahun lalu. Virus ini mereka temukan di Permafrost, lapisan tanah beku di bawah suhu 0 derajat Celcius. Sebanyak 13 virus dan salah satunya berusia 48.500 tahun berhasil mereka angkat ke daratan.
Dalam studi BioRxiv berjudul “An update on eukaryotic viruses revived from ancient permafrost” yang belum melalui proses peer-review menyebut, virus-virus ini bagian dari bahan organik yang mencair di Permafrost imbas perubahan iklim. Lantas, apakah virus ini mematikan karena dapat menginfeksi manusia dan mengubahnya menjadi zombie?
Merespon hal ini, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan, istilah ‘virus zombie’ ada karena virus ini masih bisa hidup setelah terkubur puluhan hingga ratusan ribu tahun. Bukan karena berasosiasi ke hal-hal yang menyeramkan seperti halnya zombie.
Ia menegaskan, penamaan baik itu patogen virus, bakteri, maupun jamur memiliki standar penamaan secara internasional seperti halnya SARS-CoV-2, penyebab pandemi Covid-19.
“Yang menjadi perlu kita perhatikan sebenarnya bukan namanya. Akan tetapi kembalinya virus ini dalam kondisi dormant (hidup kembali) dan berpotensi menginfeksi manusia,” katanya kepada Greeners, Selasa (7/12).
“Virus zombie’ baru bisa menjadi ancaman bila mampu bertahan di tubuh hewan dan manusia. Bila hal itu terjadi, maka potensi wabah seperti Covid-19 tak bisa manusia hindari.
Dicky menyebut berdasarkan riset, ada sekitar 1,6 juta jenis virus di dunia dan setengahnya peneliti duga berpotensi menjadi patogen atau menginfeksi manusia. Sementara, hingga saat ini hanya 1 % saja yang teridentifikasi sedangkan sisanya masih ada di alam liar.
“Jika habitat ekosistem rusak terutama karena perubahan iklim dan perilaku manusia maka satu per satu virus akan muncul dan berpotensi menjadi masalah kesehatan,” tutur Dicky.
‘Virus Zombie’ dan Ancaman Perubahan Iklim
Kemunculan ‘virus zombie’ yang berusia puluhan ribu tahun tak lepas dari dampak perubahan iklim yang ditandai dengan mencairnya Permafrost. Dicky menyatakan, mencairnya lapisan tanah beku ini tak sekadar mengindikasikan bahwa suhu bumi semakin panas.
Namun, secara tidak langsung berdampak serius, seperti memengaruhi lenyapnya ekosistem hingga meningkatnya potensi penyebaran virus ke makhluk hidup lain.
Tingginya permukaan air laut turut berpengaruh pada ekosistem kawasan. Beberapa pulau bisa terendam dan mendorong hilangnya beberapa hewan dan tumbuhan. Sementara, berubahnya kawasan juga turut memperbesar potensi singgungan antar hewan.
“Yang tadinya hewan satu dan lainnya ini tidak pernah ketemu tapi karena perubahan iklim mereka bertemu di tengah-tengah. Ini menyebabkan kontak atau lompatan virus ke spesies lain yang berpotensi melahirkan penyakit, termasuk nantinya menginfeksi ke manusia,” ungkapnya.
Pendekatan One Health
Oleh sebab itu, Dicky yang juga ahli global security menyatakan pentingnya aksi adaptasi dan mitigasi untuk mencegah perubahan iklim. Tujuannya menjaga suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat Celcius.
Upaya yang bisa warga dunia lakukan antara lain menerapkan pola hidup berkelanjutan, dengan tak melakukan penebangan hutan secara liar. Kemudian mengurangi emisi karbon dengan meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi.
Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya pendekatan one health. Pendekatan ini menekankan konsep kesehatan manusia yang berkaitan erat dengan kesehatan hewan dan lingkungan.
“Selama dua sampai tiga dekade terakhir, penyakit baru yang beredar dan mewabah di dunia adalah penyakit zoonosis. One health harus terus kita gaungkan sebagai pendekatan terpadu dalam memantau kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin