Jakarta (Greeners) – Studi dari ARC Centre of Coral Reefs Studies (CoralCoE) yang dipublikasikan 14 Oktober 2020 menemukan populasi terumbu karang kecil, sedang, dan besar di wilayah Great Barrier Reefs menurun 50 persen dalam tiga dekade terakhir. Penurunan ini terutama terlihat di wilayah utara dan tengah wilayah tersebut. Kondisi ini diperparah fenomena coral bleaching, pemutihan karang massal, pada tahun 2016 dan 2017. Lantas bagaimana dengan kondisi terumbu karang di Tanah Air?
Mendengar temuan terbaru dari CoralCoe, Peneliti Utama Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Suharsono membandingkan kejadian ini dengan temuan terumbu karang di Bumi Pertiwi beberapa tahun lalu. Pada 2015-2016, Prof. Suharsono mereken, terumbu karang di Indonesia ikut merasakan fenomena coral bleaching.
“Sebetulnya waktu terkena air hangat, yang terkena itu adalah juga algaenya itu. Akhirnya algaenya keluar dari coral itu. Coral yang algaenya keluar warnanya jadi putih, makanya disebut bleach. Warna karang 80 persen ditentukan oleh algaenya, zooxanthellae ini. Itu yang sebenarnya suffering, yang kena peningkatan suhu itu zooxanthellaenya,” terang Prof. Suharsono kepada Greeners, Sabtu (17/10/2020).
Baca juga: Komite Pendayagunaan Petani: Negara Punya Utang Besar kepada Petani
Arus Lintas Indonesia jauhkan Coral Bleaching dari Terumbu Karang di Timur Indonesia
Prof. Suharsono melanjutkan, fenomena pemutihan karang yang terjadi pada 2015-2016 di Tanah Air tidak menurunkan banyaknya terumbu karang di Indonesia wilayah bagian timur. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia Timur dilewati oleh arus lintas Indonesia. Arus lintas ini, lanjutnya, mampu mengurangi suhu panas air laut yang mengalir dari sumber lain.
“Untungnya di Indonesia, di Sulawesi, Maluku, terus Papua, itu tidak pernah kena. Di situ ada namanya Arlindo, Arus Lintas Indonesia. Itu kan arus abadi dari West Pacific sana. Arlindo selalu mengalir ke arah selatan, melalui selat Sulawesi menuju Indian Ocean. Arus itu selalu bergerak dari utara ke selatan. Perpindahan arusnya itu setiap detik 15 juta m3/detik,” ujar Prof. Suharsono.
“Dengan adanya perpindahan arus yang begitu besar, kalau ada suhu hangat dari timur, begitu masuk Indonesia suhunya jadi tidak hangat lagi, karena dicampur begitu besar. Oleh karena itu, daerah yang dilewati (Arlindo) tidak pernah kena bleaching selama ini,” lanjutnya.
Alih-alih pemutihan karang massal, Prof. Suharsono mengingat terumbu karang Indonesia lebih banyak menderita karena praktik pengeboman, terutama pada era 1990-an. Selain pengeboman, kerusakan terumbu karang Tanah Air disebabkan oleh pencemaran lingkungan.
Lebih jauh, laporan Research Center for Oceanography (RCO) LIPI mencantumkan, pada 2019, dari 1153 terumbu karang yang ada di wilayah Indonesia, sekitar 390 terumbu karang (33,82 persen) dikategorikan buruk; 431 terumbu karang (37,38 persen) dikategorikan sedang; 258 terumbu (22,38 persen) dikategorikan baik; dan 74 terumbu (6,42 persen) dikategorikan sangat baik.
Baca juga: Jatam Tuntut Negara Sibak Aktor di Balik Lubang Tambang Emas Ilegal
Pemanasan Global, Biang Kerok Coral Bleaching Terumbu Karang Great Barrier Reefs
Sebelumnya, studi ARC Centre of Coral Reefs Studies (CoralCoE) mengungkapkan penurunan 50 persen terumbu karang Great Barrier Reefs sejak 1990-an. Prof. Terry Hughes, salah satu peneliti, menjelaskan kerusakan ini merupakan kerusakan terparah yang dialami Great Barrier Reefs akibat pengaruh kenaikan suhu lautan yang memicu pemutihan massal pada tahun 2016 dan 2017.
“Penurunan terjadi di perairan dangkal dan yang lebih dalam, dan di hampir semua spesies — terutama spesies karang yang bercabang dan berbentuk meja,” kata Prof. Hughes.
Karang yang bercabang dan berbentuk meja, lanjutnya, merupakan salah satu struktur yang penting bagi penghuni terumbu karang, seperti ikan. Hilangnya spesies terumbu karang tersebut mengakibatkan hillangnya habitat ikan, yang pada akhirnya akan berdampak pada banyaknya ikan dan produktivitas perikanan terumbu karang.
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan populasi terumbu karang dan ukuran koloninya di sepanjang Great Barrier Reef dalam rentang waktu tahun 1995 dan 2017.
“Kami mengukur perubahan ukuran koloni karena studi populasi penting untuk memahami demografi dan kapasitas karang untuk berkembang biak,” kata Dr. Andy Dietzel, selaku peneliti utama studi tersebut.
Hasil studi ini juga mengungkapkan kemampuan Great Barrier Reefs untuk memulihkan dirinya berkurang dibandingkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan pertumbuhan dan perkembangbiakan terumbu karang yang semakin sedikit.
Melansir Coral Coe, krisis iklim mendorong peningkatan frekuensi gangguan terhadap terumbu karang. Salah satunya gelombang panas air laut. Krisis iklim menyebabkan suhu laut yang semakin tinggi dan membuat terumbu karang rentan terhadap pemutihan.
Terumbu karang sendiri merupakan salah satu pendukung keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Lebih dari 500 juta orang di seluruh dunia bergantung pada ekosistem lautan, salah satunya terumbu karang.
Penulis: Ida Ayu Putu Wiena Vedasari
Editor: Ixora Devi