Jakarta (Greeners) β Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) baru-baru ini menemukan spesies baru anggrek akar tak berdaun dari Aceh, Pulau Sumatra. Anggrek endemik tersebut peneliti beri nama Chiloschista tjiasmantoi Metusala, yang merupakan bagian dari genus Chiloschista (Orchidaceae) dan termasuk dalam kelompok anggrek epifit tak berdaun.
Secara morfologi, bunga spesies baru ini mirip dengan anggrek Chiloschista javanica yang endemik di Jawa. Namun, ada beberapa perbedaan mencolok, seperti bentuk petal yang oblong-obovate dan bibir bunga yang khas.
Peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Destario Metusala, menjelaskan bahwa pada 2019, dalam sebuah survei botani di Aceh, beberapa individu anggrek Chiloschista tumbuh epifit pada pepohonan di perkebunan semi-terbuka yang dekat dengan hutan.
Sosok anggrek ini juga didominasi oleh tumpukan akar fotosintetik yang warnanya menyerupai warna kulit batang pepohonan, sehingga membuatnya sulit terlihat.
BACA JUGA: Peneliti Temukan Spesies Cecak Jarilengkung Baru Bernama Pecel Madiun
βOleh karena itu, kemunculan organ bunganya yang kecil namun berwarna kuning cerah menjadi sangat penting untuk mendeteksi keberadaannya,β ujar Destario lewat keterangan tertulisnya, Rabu (26/3).
Spesimen berbunga yang telah dikoleksi dan diobservasi lebih lanjut menunjukkan ciri khas morfologi bunga yang berbeda dengan spesies Chiloschista lainnya, terutama C. javanica dan C. sweelimii.
Tumbuh Menempel di Batang Pohon
Anggrek C. tjiasmantoi memiliki kuntum bunga dengan lebar 1-1,2 cm dan berwarna kuning dengan pola bintik jingga atau kemerahan. Pada setiap tangkai perbungaan yang panjang, dapat muncul hingga 30 kuntum bunga yang mekar secara simultan.
Spesies ini umumnya berada di ketinggian 700β1000 mdpl. Tumbuhnya menempel pada batang pepohonan tua di habitat semi-terbuka yang berangin dan lembap. Musim berbunga biasanya terjadi pada pertengahan Juli serta awal November hingga akhir Desember.
βAnggrek spesies baru ini telah berevolusi secara unik dengan mereduksi organ daunnya secara ekstrem. Sehingga, proses fisiologi penting seperti fotosintesis dilakukan pada organ akarnya. Keunikan ini membuka peluang riset lanjutan untuk menelisik berbagai aspek biologinya,β ungkapnya.
Tanpa Organ Daun
Destario mengungkapkan bahwa anggrek ini disebut sebagai anggrek tak berdaun karena sepanjang daur hidupnya, anggrek tersebut memang tidak memiliki organ daun. βSemisal pun ada daun, ukurannya sangat kecil, hanya 1-2 helai saja, dan akan segera gugur,β ujarnya.
Pemberian nama Chiloschista tjiasmantoi pada spesies baru ini juga memiliki cerita menarik. Peneliti memberikan nama tersebut sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto. Sosok Wewin ini telah mendukung upaya pelestarian flora di Indonesia, khususnya di Aceh.
BACA JUGA: Peneliti BRIN Temukan Dua Spesies Baru Kumbang Kura-Kura
Selain itu, genus Chiloschista yang termasuk dalam kelompok anggrek tak berdaun pertama kali terdeskripsikan pada tahun 1832. Genus ini kini mencakup 30 spesies yang tersebar dari Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia. Di Indonesia, para hobiis mengenal anggrek ini dengan nama βanggrek akarβ. Sebab, penampilannya menyerupai sekumpulan akar-akar berwarna kehijauan.
Sebelumnya, Indonesia hanya memiliki empat spesies Chiloschista yang ada di Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Hingga kini, belum ada catatan mengenai keberadaan anggrek Chiloschista dari Pulau Sumatra, Kalimantan, atau Papua.
Masuk Kategori Genting
Selain itu, anggrek dari Aceh ini merupakan spesies baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya, menjadikannya catatan pertama keberadaan anggrek Chiloschista di Pulau Sumatra.
Saat ini anggrek C. Tjiasmantoi masuk dalam kategori genting (Endangered) menurut kriteria IUCN Redlist. Hal itu karena luas area sebaran dan jumlah populasi yang terbatas, serta ancaman ekspansi perkebunan dan perubahan iklim.
Maka dari itu, Destario menekankan pentingnya perluasan kawasan lindung di Aceh untuk melestarikan berbagai spesies tumbuhan yang terancam kepunahan. Terutama, spesies unik yang hanya ada di provinsi tersebut.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia