Jakarta (Greeners) – Hingga kini penularan virus SARS-CoV-2 masih terus terjadi dan jumlahnya kian meningkat. Pencegahan dan pengobatan COVID-19 diupayakan dengan berbagai pendekatan untuk menekan perkembangan virus. Peneliti Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara, dan Gugus Tugas Nasional bekerja sama meneliti rejimen kombinasi obat dan jenis stem cell atau sel punca yang ada di tubuh.
Rejimen merupakan komposisi jenis, jumlah, dan frekuensi pemberian obat sebagai terapi pengobatan. Penelitian rejimen ini didasarkan pada prinsip penyakit infeksi yang memiliki tiga konsep, yakni induk semang (host), lingkungan, dan vektor penyakit (agent).
Baca juga: Penelitian Sampah Laut Masih Minim
“Kombinasi obat yang sudah diteliti berasal dari obat-obatan di pasaran. Kita teliti potensi serta efektifitasnya diperluas menjadi obat yang mempunyai efek antiviral terhadap SARS-CoV-2. Sampel (virus) diambil dari pasien di RSUA dan telah mendapatkan sertifikat laik etik melalui serangkaian proses,” ujar Purwati, Peneliti Universitas Airlangga, di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Jumat (12/06/2020).
Ia mengatakan dari 14 rejimen obat yang diteliti, terdapat lima kombinasi yang mempunyai potensi dan keefektifan untuk menghambat virus korona masuk ke dalam sel target. Kombinasi rejimen tersebut, kata dia, juga membantu menurunkan perkembangbiakan virus di dalam sel yang dilihat secara bertahap dari 24 jam, 48 jam, hingga 72 jam. “Virus yang jumlahnya ratusan ribu berkurang hingga tak terdeteksi. Jumlah virus menurun sampai tidak terdeteksi setelah diberi rejimen obat,” ucapnya.
Menurutnya, kelima macam kombinasi obat tersebut di antaranya lopinavir atau ritonavir dan azithromycin; lopinavir atau ritonavir dan doxycycline; lopinavir atau ritonavir dan clarithromycin; hidroklorokuin dan azithromycin; dan kombinasi hydroxy dan doxycycline.
Ia menuturkan kombinasi dosis yang lebih kecil antara seperlima hingga sepertiga dari dosis tunggal sangat mengurangi toksisitas obat di dalam sel tubuh yang sehat. Sedangkan untuk jenis stem cell yang diteliti sebagai antiviral COVID-19, yaitu Haematopetics Stem Cells (HSCs) dan Natural Killer Cells. Menurut Purwati, setelah HSCs yang diambil dari darah diuji dan dibiakkan selama tiga hingga empat hari, didapatkan hasil bahwa virus menjadi tidak terdeteksi setelah 24 jam.
Baca juga: Kerusakan Laut Indonesia Berlangsung Sepanjang 25 Tahun Terakhir
Sementara untuk NK cells, bahan diambil dari Pheriperal Blood Mononucleated Cells yang dikendalikan selama 7-14 hari di laboratorium sel punca. “Setelah 72 jam, NK cells melakukan inaktivasi sebagian besar virus sehingga bisa direkomendasikan untuk preventif (pencegahan) dan juga pengobatan,” ujarnya.
Kasus Covid-19 Belum Menurun
Sejumlah tes massal di beberapa daerah episentrum dilakukan dengan melibatkan Badan Intelijen Negara. Upaya pengobatan kepada masyarakat yang terpapar diharapkan dapat mencegah penularan virus sedini mungkin.
Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara (BIN) Komisaris Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo menyampaikan, perkembangan jumlah korban COVID-19 masih terus berjalan. Pihaknya telah melakukan pengujian melalui tes cepat pada lebih dari 26.000 warga dari 29 Mei hingga 11 Juni 2020. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.629 hasil tes menunjukkan kondisi reaktif.
Sementara dari pengujian swab dan RT PCR terdapat 960 orang yang diketahui positif corona. Menurut Bambang, angka tersebut menunjukkan bahwa penyebaran COVID-19 belum mengalami penurunan yang signifikan.
Penulis: Dewi Purningsih