Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan peran penegak hukum khususnya pihak Kepolisian dalam menangani kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan bahwa terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah menunjukkan keberpihakkan penegak hukum pada korporasi. Padahal di sisi lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil.
Menurut Nur Hidayati, di berbagai kasus yang diadvokasi oleh Walhi, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin. Berdasarkan analisa yang Walhi lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan, berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan.
Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rantai produksinya dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian non materi lainnya.
BACA JUGA: SP3 Perusahaan Pembakar Hutan, Jikalahari Usulkan Kapolri Bentuk Tim Independen
“PT Musi Hutan Persada misalnya, selain konsesinya terbakar dengan luasan mencapai sekitar 80.000 hektar, mereka juga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan menggusur tanah dan ladang milik masyarakat Cawang Gumilir Musi Rawas Sumatera Selatan. Sudah 158 hari masyarakat tinggal di pengungsian,” terangnya, Jakarta, Kamis (08/09).
Sebelumnya, pada Rabu (07/09) kemarin, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan keterangan bahwa KLHK bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia telah sepakat untuk melakukan tindakan penyelesaian kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
KLHK juga akan terus melakukan upaya penegakan hukum melalui pendekatan multidoors melalui instrumen sanksi administratif maupun penuntutan perdata kepada korporasi yang diduga melakukan kejahatan karhutla. Untuk jalur hukum pidana Menteri LHK akan terus memberikan dukungan dan koordinasi dengan Kapolri dan jajarannya di pusat dan di daerah.
“Saya dan Kapolri akan melangkah sesuai dengan aturan hukum, jangan ada asumsi-asumsi atau praduga atau wacana yang berisi analisis dari aparat yang akan membingungkan publik,” ujarnya.
BACA JUGA: KLHK Siap Bantu Penyidikan Terhadap 15 Perusahaan Pembakar Hutan
Terkait pemberian status SP3 pada beberapa korporasi yang diduga terlibat dalam kasus karhutla, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menekankan bahwa penetapan itu dilakukan sebelum dirinya menjabat Kapolri, yaitu pada periode Januari hingga Mei 2016. Tito sendiri diangkat menjadi Kapolri pada Juli 2016. Namun dia menjelaskan, siapapun boleh mengajukan praperadilan untuk membuka kembali kasus yang sudah di SP3 itu.
“Karena SP3 adalah produk hukum maka hanya dapat dibuka kembali kalau ada praperadilan. Siapapun boleh mengajukan praperadilannya, pihak-pihak yang merasa dirugikan, rekan-rekan LSM silahkan. Kalau nanti diterima praperadilannya, kita bisa buka kasus-kasus itu lagi,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih