Jakarta (Greeners) – Populasi manusia di dunia semakin bertambah. Pada peringatan Hari Populasi Dunia 15 November 2022 PBB memproyeksikan jumlah penduduk dunia mencapai delapan miliar. Angka tersebut naik satu miliar dibanding pada tahun 2011 sebanyak 7 miliar.
Sementara Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Jumlah penduduk di tanah air terus mengalami peningkatan sepanjang lebih dari satu dekade terakhir.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,77 juta jiwa pada 2022. Jumlah tersebut naik sebanyak 1,13 % dari tahun lalu yakni 272,68 juta jiwa.
Kenaikan jumlah populasi penduduk dunia turut mendorong ancaman krisis berbagai bidang, termasuk pangan dan energi. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperingatkan Indonesia perlu mewaspadai tiga krisis tahun 2023 nanti, yakni krisis pangan, energi, dan keuangan.
“Indonesia juga harus meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai risiko tersebut,” katanya baru-baru ini.
Peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Sukamdi mengatakan, kenaikan jumlah populasi penduduk tak sekadar mengancam pangan dan energi, tapi juga keberlanjutan lingkungan.
Ancaman Krisis Pangan karena Bertambahnya Penduduk Dunia
Membludaknya jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan jumlah pangan. Ia mengasumsikan, sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi beras maka jika jumlah penduduk berjumlah sekitar 275 juta dan rata-rata mengkonsumsi lima kilogram beras per bulan maka butuh lebih dari 1,35 juta ton beras per bulan.
“Pertanyaannya apakah kebutuhan beras tersebut cukup dengan produksi beras saat ini? Terlebih dalam kondisi ketika lahan pertanian semakin berkurang karena alih fungsi untuk perumahan dan industri,” katanya kepada Greeners, Sabtu (3/12).
Permasalahan tak berhenti di situ. Jika kebutuhan pangan berkurang maka masyarakat akan menggunakan berbagai cara, termasuk mengeksploitasi alam dengan memanfaatkan teknologi yang tak ramah lingkungan.
“Sekarang pun sudah banyak terjadi. Di berbagai belahan bumi sudah cukup terbukti bagaimana eksploitasi alam berlebihan memicu krisis alam dan menyebabkan degradasi lingkungan,” ungkapnya.
Sukamdi mengingatkan pentingnya potensi keberagaman pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan pangan, terutama impor dari negara lain. Selain itu, ia mendorong peningkatan produksi pertanian melalui pemanfaatan teknologi dengan program ekstensifikasi lahan pertanian.
“Jika adopsi teknologi pertanian dan penambahan lahan pertanian berjalan maka dapat meningkatkan nilai tambah sektor pertanian dan menunjang kehidupan penduduk yang sebanyak ini,” ujar dia.
Degradasi Lingkungan Hingga Perubahan Iklim
Senada dengannya, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo menilai, meledaknya populasi penduduk turut memicu degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Misalnya, hutan yang merupakan bagian dari ekosistem lingkungan dan tak terlepas jadi sasaran alih fungsi berbagai kepentingan, seperti industri ekstraktif.
“Padahal manusia, tumbuhan, dan hewan membutuhkan hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Hutan sebagai tempat berlindung satwa, manusia memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhannya, dan menjadi penjaga fungsi ekosistem yang berisi keanekaragaman hayati,” paparnya.
Laju deforestasi di Indonesia disebabkan konversi hutan menjadi kelapa sawit, tanaman industri, pembakaran lahan gambut, hingga industri tambang. Bambang menyebut, deforestasi bahkan berdampak pada kepunahan keanekaragaman hayati, hingga meningkatkan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor serta memicu pemanasan global.
“Sebagaimana perubahan iklim telah menjadi isu global. Bila tak ada kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan maka peningkatan jumlah penduduk dapat memperparah perubahan iklim. Tak heran jika banyak bencana yang saat ini terjadi,” imbuhnya.
Permasalahan tak sampai di situ. Populasi penduduk yang tinggi memicu meningkatnya sampah plastik di perairan Indonesia. Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menyatakan, perubahan pola konsumsi yang banyak menggunakan kemasan plastik berpotensi besar terbuang ke lingkungan.
“Karena kalau memang sampah plastik masuk ke lingkungan perairan maka akan menjadi persoalan selamanya karena tak bisa diurai,” kata dia baru-baru ini.
Berdasarkan data KLHK, total sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 17 %, atau sekitar 11,6 juta ton, disumbang oleh sampah plastik. Angka tersebut naik dibanding tahun 2010 lalu yang sekitar 11 %.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin