Jakarta (Greeners) – Kualitas air di kawasan teluk Jakarta masih relatif sama tanpa ada perubahan yang drastis. Hal ini dikatakan oleh Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Heru Waluyo saat dihubungi oleh Greeners melalui sambungan telepon.
Menurut Heru, pencemaran berat di wilayah teluk Jakarta mayoritas masih bersumber dari limbah domestik rumah tangga. Hal ini disebabkan kawasan teluk Jakarta menjadi lokasi akhir dari berbagai macam distribusi limbah yang datang dari hulu 13 sungai di Jakarta. Oleh sebab itu, tingkat pencemaran yang paling tinggi pun terakumulasi di bagian hilir yang menyambung langsung ke laut.
BACA JUGA: Pencemaran di Teluk Jakarta Didominasi Limbah Domestik
Sumber pencemaran tersebut, lanjutnya, dibagi menjadi dua. Pertama, Point Sources (limbah industri) yang sumbernya tetap; dan kedua, Non Point Sources (limbah domestik rumah tangga) yang sumbernya bisa datang dari mana saja. Heru mengakui sangat sulit untuk mendeteksi Non Point Sources karena titik-titik sumber pencemarannya tersebar di banyak pemukiman maupun rumah tangga lainnya.
“Jadi kondisinya masih sama saja, hanya berbeda saat hujan sedang deras. Kalau hujan deras kan hujan itu seperti membersihkan limbah-limbah di teluk secara alami,” katanya, Jakarta, Rabu (14/12).
Untuk pencemaran yang bersumber dari Point Sources terbagi dua, pencemaran dari limbah organik sebanyak 52.862,75 ton dan limbah anorganik sebanyak 24.446,06 ton. Sedangkan limbah non point sources, untuk organik sebesar 10.875.651,69 ton dan anorganik 9.766.670,00 ton. Tumpukan limbah ini dihitung di Jakarta Utara pada November 2015 lalu.
“Jika mau dikomparasi dengan penelitian yang sama di waktu yang sama namun lokasi yang berbeda, dibandingkan teluk Semarang dan teluk Benoa, teluk Jakarta jauh lebih parah pencemarannya,” imbuhnya.
BACA JUGA: KKP Tidak Dilibatkan Dalam Proyek Reklamasi Teluk Jakarta
Juru Kampanye Laut Greenpeace Arifsyah Nasution pun menyatakan hal serupa. Menurutnya, untuk teluk Jakarta, hingga saat ini masih belum terlihat adanya upaya serius dari pemerintah untuk membangun penghalang air agar sampah tidak terbuang ke lautan apabila banjir terjadi. Padahal, katanya, volume sampah di Jakarta setiap tahun terus meningkat dan yang sering dilakukan oleh pemerintah, terusnya, tidak pernah menyasar persoalan dasar terkait sampah di Jakarta.
Ia memberikan contoh sebuah riset yang pernah dilakukan oleh Greenpeace di beberapa pulau di sekitar Jakarta. Menurutnya, sampah-sampah plastik yang ada di teluk Jakarta dan terdampar di beberapa pulau adalah sampah jenis plastik yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Jakarta.
“Di sini bukan hanya masyarakat yang bisa kita edukasi, tapi para produsen juga sudah seharusnya memastikan kalau sampah mereka tidak terlepas begitu saja di lingkungan. UU nomor 18 tahun 2008 telah memandatkan pada produsen untuk bertanggungjawab pada sampahnya. Ini tidak dijalankan dan pemerintah membiarkannya,” kata Arifsyah.
Penulis: Danny Kosasih