Bali (Greeners) – Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan PPKLH Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali I Made Dwi Arbani mendorong, agar pemerintah menurunkan peraturan khusus untuk mengelola sampah laut. Hal ini untuk melindungi wilayah wisata Bali dari ancaman serius sampah.
Sebelumnya, pemerintah provinsi Bali telah melakukan kegiatan bersih-bersih pantai bersama dengan berbagai komunitas lingkungan. I Made menyebut, berdasarkan pemetaan temuan sampah di pesisir Bali berupa sampah produk atau kemasan yang berasal dari luar provinsi Bali.
Bahkan, ada pula seragam sekolah yang tak ada di wilayah Bali. Temuan tersebut lanjutnya, menjadi data bahwa banyak sampah yang berasal dari luar Bali. “Kalau kami menyelesaikan sampah dari sumber wilayah kami tanpa diikuti dengan penanganan sampah di luar Bali, tentu kami kewalahan,” katanya dalam Workshop Penanganan Sampah Laut di Provinsi Bali, Jumat (25/3).
Oleh karenanya, perlu aturan khusus setingkat peraturan presiden dan peraturan pemerintah terkait sampah spesifik untuk menangani persoalan sampah laut. Ia juga menekankan pentingnya sinergi pemerintah Bali dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota lainnya untuk memastikan penanganan sampah di laut.
Selama ini lanjutnya, Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 mengatur pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai. Aturan ini juga mendorong agar masyarakat ikut menekan pengurangan sampah.
Ia juga mendorong agar pemerintah pusat memberikan dukungan berupa infrastruktur. Caranya melalui mekanisme khusus terkait dana alokasi khusus dalam penanganan sampah di laut.
“Ini yang belum ada slotnya. Sehingga diharapkan nanti di semua wilayah pesisir yang ada di Bali dapat melakukan penanganan berupa pembersihan sampah laut misalnya peralatan teknologi khusus,” ungkapnya.
Volume Sampah Laut Dari Tahun ke Tahun
Sementara itu, Kepala Dinas Kabupaten Badung I Wayan Puja menyatakan, volume sampah pantai yang ada di wilayah Kabupaten Badung mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2021 volume sampah pantai mencapai 3.270 ton. Adapun pada tahun 2020 volume sampahnya yaitu 2.182 ton dan tahun 2021 yakni sebanyak 5.452 ton. Sementara pada tahun 2022 volume sampah tercatat sebanyak 1.782 ton.
Pada tahun 2018 total volume sampah yaitu sebanyak 4.065 ton, sedangkan pada tahun 2019 total volume sampah yaitu sebanyak 2.750 ton. Berbagai jenis sampah yang ada di Kabupaten Badung, di antaranya kayu, ranting, bambu, rumput laut, serta plastik.
I Wayan menyatakan, berbagai penanganan sampah pemerintah daerah lakukan lewat pengumpulan sampah dengan alat berat. Lalu dibawa ke tempat penampungan sementara lalu diangkut. “Ini kita anggap sebagai paling cepat yang kami kerjakan. Mengingat banyaknya jumlah sampah dan pantai di Badung banyak dikunjungi wisatawan,” ucapnya.
Head of Center for Remote sensing and Ocean Science (cReSOS) Universitas Udayana I Gede Hendrawan menyatakan, habitat laut hancur, ikan hilang, terumbu karang rusak karena sampah. Hal ini akan berimbas pada sektor ekonomi. Ia menyatakan sebaran sampah plastik paling besar yaitu pada sektor sungai.
Berdasarkan survei lembaga ini tahun 2019, ada temuan sebaran plastik di sungai yaitu 20,7 ton per kilometer persegi. Sementara itu sebaran di pantai yaitu sebesar 3,9 ton plastik per kilometer persegi. Serta 2,1 ton plastik per kilometer persegi di daratan.
Sampah di laut tak lepas dari kontribusi sampah di sungai. Menanggapi banyaknya sampah di pusaran Pantai Kuta, I Gede menyebut hal itu dapat pengaruh dari pola pergerakan arus di laut Bali yang menuju ke Bali bagian barat.
Selama musim angin barat dan puncaknya pada bulan Maret, banyak sampah berdatangan karena besaran arus dan angin menuju ke Pantai Kuta “Tak terkecuali sampah dari luar, seperti dari Banyuwangi,” ujar dia.
Terapkan Gaya Hidup Pilah dan Minim Sampah
Sementara itu Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengingatkan, perilaku dan kebiasaan gaya hidup minim sampah sudah harus semua pihak lakukan.
Pertama, membatasi dan mencegah penggunaan barang-barang sekali pakai. Kedua, mulai belanja tanpa kemasan. Ketiga, pilah sampah dari rumah. Keempat, makan tanpa sisa.
Novrizal menyebut, sampah organik yang berasal dari makanan sisa menjadi kontribusi terbesar dalam emisi gas rumah kaca. Terakhir, mulai kebiasaan mengkompos dari rumah. “Kalau semua orang di Denpasar, Badung mulai melakukan kegiatan kompos ini, 50 % sampahnya selesai. Lalu melalui pemilahan itu menyumbang 30 %,” kata Novrizal.
Industri pengomposan, sambung dia kini telah tumbuh dengan budi daya maggot yang sangat berpotensi untuk menurunkan gas rumah kaca. Misalnya, 100.000 ton sampah organik kalau bisa masyarakat olah dengan maggot, maka sekitar 40 juta ton CO2 bisa turun dalam setahun.
Kebiasaan dan gaya hidup tersebut, sambung Novrizal merupakan bagian penting dari pengurangan emisi. Hal ini untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2050 nanti. Novrizal juga menyoroti pembuangan sampah terbuka atau open dumping yang mampu berkontribusi sangat besar terhadap emisi. “Karena TPA yang operasionalnya open dumping merilis emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas metana,” ujar dia.
Ia juga mengingatkan, urgensi kebijakan less landfill dan zero waste to landfill harus seluruh wilayah di Indonesia terapkan, termasuk Bali. Misalnya pengelolaan sampah di sumber harus maksimal melalui sampah tuntas di TPS3R dan tuntas di bank sampah.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin