Jakarta (Greeners) – Pemerintah pusat maupun daerah menyiapkan penanganan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau kali ini. Pemerintah pusat melakukan upaya pencegahan karhutla khususnya di provinsi rawan. Sementara di daerah, pengendaliannya dinilai kurang optimal sebab dipengaruhi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Wakil Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Beni Hernedi mengatakan, penanganan karhutla di daerah terhambat di kala wabah lantaran adanya protokol kesehatan yang harus dipenuhi. “Tidak semua stakeholder bekerja maksimal karena adanya kebijakan Work From Home,” ucap Beni saat diskusi daring “Antisipasi Dampak Kebakaran Hutan, Kabut Asap dan Covid-19”, Rabu, (06/05/2020).
Pada 2019, titik panas di Musi Banyuasin mencapai 3.613 buah. Menurut Beni, kebakaran di lahan gambut tidak bisa dikendalikan karena dipengaruhi faktor wilayah. “Kalau kebakarannya di lahan mineral bisa kita pastikan padam dan orangnya akan ketahuan. Tapi tidak di wilayah gambut, karena di Musi Banyuasin wilayah gambut kita bertetangga dengan Jambi, jadi sulit menemukan pelaku dan memadamkan api,” kata dia.
Baca juga: Karhutla Masih Terjadi di Tengah Pandemi
Di bulan September 2019, titik panas di wilayah gambut di Kecamatan Bayung Lencir mencapai 2.319 buah. Ia menyebut daerah ini sudah berulang kali kebakaran karena pasokan air tidak memungkinkan lagi untuk terisi. Menurutnya, kebakaran yang terjadi di Musi Banyuasin juga dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. “Jadi, Covid-19 ini juga dijadikan sebuah momentum untuk memantau pergerakan orang yang keluar masuk di Musi Banyuasin,” ujar Beni.
Pemantauan tersebut dilakukan agar tidak ada masyarakat yang positif Covid-19 maupun menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP). Hal tersebut akan berpengaruh kepada penanganan karhutla. “Pasti penanganan dan pencegahan karhutla kita tidak akan bisa seperti di 2019 dulu karena adanya pandemi covid-19 ini,” ucapnya.
Sementara di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jarot Winarno, Bupati Kabupaten Sintang menuturkan, antisipasi karhutla masih memerlukan pendampingan dan arahan. Masyarakat diminta agar tidak melakukan slash and burn atau membuka lahan dengan cara membakar. Pada Agustus 2018, terdapat 104 titik panas di Sintang dan hilang pada bulan September. Namun, pada 5 September 2019, hotspot meningkat menjadi 699 titik.
“Tahun ini katanya lebih kering, barangkali tantangannya lebih besar lagi. Situasi Covid-19 ini juga pasti akan menjadi trigger masyarakat untuk membuka lahan dengan cara dibakar. Dampak corona mendorong slash and burn lebih tinggi,” ujarnya.
Menurut Jarot, pihaknya sudah berusaha menemukan solusi untuk menangani karhutla dengan cara menerapkan sistem bertani dengan kearifan lokal. Ia kemudian menetapkan peraturan tata cara dan norma baru pembukaan lahan bagi masyarakat. “Kita izinkan secara terbatas dan terkendali bagi masyarakat adat untuk tetap membakar lahannya asal tidak lebih dari 2 hektare,” ujarnya.
Pemerintah daerah Kabupaten Sintang telah memberikan sanksi berat kepada perusahaan yang terbukti menyalahi aturan dan terlibat dalam karhutla. “Saya sudah cabut 7 izin perusahaan, jadi kita harus berkawan dengan kearifan lokal,” ucapnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk tim kerja pendampingan di daerah rawan kebakaran. Tim tersebut diisi oleh jajaran Eselon I dan II, Staf Khusus Menteri, dan Tenaga Ahli Menteri lingkup KLHK yang akan memberikan dukungan serta pendampingan bagi tim satuan tugas di daerah.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Karliansyah, menyampaikan berbagai upaya pencegahan karhutla dilakukan melalui pemulihan ekosistem gambut maupun capaian ketaatan Tinggi Muka Air Tanah (TMAT). Ia menuturkan upaya tersebut menjadi kewajiban perusahaan untuk menghindari karhutla terjadi secara berulang.
Menurutnya, dari hasil evaluasi pemegang izin perkebunan Hak Guna Usaha (HGU), pencegahan karhutla melalui pemulihan ekosistem gambut dilakukan dengan membangun beberapa infrastruktur seperti Titik Penataan-TMAT Manual, TP-TMAT Logger, dan sekat kanal.
Baca juga: Sektor Pertanian Akan Hadapi Kekeringan
Sementara di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), penanganan karhutla melalui pemulihan ekosistem gambut dilakukan dengan membangun beberapa infrastruktur seperti 376 Titik Penataan-TMAT Manual, TMAT otomatis 106 unit, stasiun curah hujan 7 unit, dan 321 unit sekat kanal.
Pemerintah pusat juga akan menggunakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) pada tiga provinsi rawan, yakni Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. KLHK juga menyiapkan peta kelembapan tanah (Soil Moisture) untuk menjadi dasar respons kebijakan mitigasi kewaspadaan karhutla.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani