Jangan Hanya Sebut Pemulung Pahlawan Lingkungan, Prioritaskan Haknya!

Reading time: 3 menit
Ilustri pemulung. Foto: Dini Jembar Wardani
Ilustri pemulung. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Pemenuhan hak pekerja informal, khususnya pemulung, masih sering terabaikan. Padahal, mereka berperan penting dalam mengatasi masalah sampah di Indonesia. Hak-hak mereka seharusnya menjadi prioritas karena pekerjaan mereka sangat rentan terhadap risiko keselamatan dan kesehatan.

Berdasarkan data dari Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), saat ini sekitar 3,7 juta orang di 25 provinsi bergantung pada sampah plastik dan sampah daur ulang lainnya untuk mencari nafkah sehari-hari. Mereka mengandalkan pekerjaan ini untuk bertahan hidup, meskipun banyak yang belum mendapat pengakuan atau perlindungan yang memadai.

Menurut Pegiat Lingkungan dari Yayasan Gita Pertiwi, Alfian Khamal Mustafa, para pemulung dapat disebut sebagai pahlawan dan agen pelestari lingkungan. Terutama, saat ini sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih sangat bergantung pada penggunaan landfill (tempat pembuangan sampah), dengan sedikit upaya pengelolaan lanjutan.

Di sinilah peran pemulung sangat penting. Mereka dapat membantu mengelola sampah yang tidak hanya mengurangi beban di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), tetapi juga mendaur ulang sampah organik menjadi pakan. Selain itu, sampah anorganik juga dapat mereka jual untuk penghasilan tambahan.

Namun, berdasarkan pengamatan Alfian, masih banyak hak-hak mereka sebagai pekerja belum sepenuhnya terpenuhi. Terutama terkait dengan jaminan kesehatan, dan fasilitas keselamatan kerja, seperti sarung tangan, alat pelindung diri (APD), masker, dan lainnya.

Alfian menambahkan, profesi pemulung merupakan pekerjaan yang penuh tantangan dan risiko, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Mereka terus-menerus terpapar bau tidak sedap, serta menghadapi risiko cedera akibat benda tajam yang tersebar di tumpukan sampah.

Selain itu, paparan panas dari gas metana yang terperangkap dalam sampah yang menumpuk juga menjadi ancaman kesehatan bagi mereka.

“Selama ini, mereka bekerja tanpa perlindungan yang memadai. Bahkan, untuk sarung tangan, mereka terpaksa mengais dari sampah yang masih bisa mereka pakai. Ini adalah kondisi yang sangat memprihatinkan dan seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah,” ujar Alfian kepada Greeners, Jumat (15/11).

Ilustri pemulung. Foto: Dini Jembar Wardani

Ilustri pemulung. Foto: Dini Jembar Wardani

Permasalahan Pemulung Kompleks

Sementara itu, Alfian menjelaskan bahwa permasalahan yang pemulung hadapi juga semakin kompleks. Terutama dengan adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Sebelum itu, mereka juga sudah berhadapan dengan masalah sampah yang belum terpilah di TPA. Sehingga, risiko cedera akibat benda tajam yang tercampur dengan sampah lain sangat tinggi.

Banyak pemulung yang mengalami cedera, seperti tertusuk benda tajam. Bahkan, beberapa di antaranya harus mendapatkan perawatan di rumah sakit akibat infeksi dari benda tajam yang berkarat.

“Masalah saat ini semakin bertambah dengan hadirnya PLTSa yang menimbulkan berbagai dampak. Mulai dari kebisingan operasionalnya, bau yang menyebabkan pusing, terutama bagi anak-anak, hingga pencemaran debu dari proses penjemuran sampah. Selain itu, ada juga pencemaran residu tar yang mencemari sungai,” tambah Alfian.

Pentingnya Pemberdayaan

Senada dengan Alfian, Ketua Yayasan Mahija Parahita Nusantara, Ardhina Zaiza (Icha) juga menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh profesi pemulung tidak hanya terbatas pada satu atau dua hal, tetapi begitu banyak hal yang harus diatasi. Berdasarkan pengamatannya, masih banyak kehidupan pemulung yang tidak terekognisi.

“Rekognisi itu bukan hanya soal bagaimana mereka bisa dilihat sebagai warga negara Indonesia yang setara, yang memiliki hak yang sama. Ada banyak dari mereka bahkan tidak memiliki kartu penduduk, tidak bisa mengakses pendidikan, atau mendapatkan layanan BPJS. Namun, ada masalah yang jauh lebih luas dari itu,” kata Icha.

Salah satu cara Mahija untuk membantu pemulung adalah dengan memberikan edukasi dan pelatihan guna memberdayakan mereka. Contohnya, memberikan pelatihan kepada pekerja perempuan informal di kampung pemulung, seperti cara menyortir botol plastik dan memisahkan botol dari tutupnya, yang tidak memerlukan aktivitas fisik berat. Sehingga, hal ini dapat membantu plastik dapat mudah didaur ulang.

Selain itu, Mahija juga fokus pada edukasi dan layanan kesehatan, baik fisik maupun mental, untuk mendampingi para pemulung. Layanan kesehatan yang Mahija berikan mencakup pemeriksaan rutin dan dukungan psikososial bagi mereka yang menghadapi tekanan berat akibat pekerjaan.

Mahija juga memiliki berbagai program lainnya, seperti program pendidikan untuk anak-anak pemulung melalui Sekolah Keliling, yang bertujuan memberikan akses pendidikan kepada anak-anak yang tidak terjangkau sekolah formal. Bahkan, mereka menyediakan beasiswa agar anak-anak pemulung bisa melanjutkan pendidikan formal hingga jenjang yang lebih tinggi.

Ubah Stigma terhadap Pemulung

Melihat banyaknya permasalahan yang kompleks, Alfian berharap agar pemulung dapat memperoleh hak yang layak dalam pekerjaan mereka, serta mendapatkan jaminan langsung dari pemerintah untuk akses kesehatan, fasilitas pekerjaan, pendidikan bagi anak-anak, dan akses pendanaan untuk hidup mereka.

Menurutnya, pendampingan serta penyediaan sarana dan prasarana sangat penting untuk mendukung berbagai kegiatan pengelolaan sampah, seperti pembuatan kompos dan budidaya maggot, yang dapat menjadi nilai tambah bagi pemulung.

“Dengan demikian, sampah-sampah yang tidak terkelola dengan baik, pemulung dapat memanfaatkannya untuk menciptakan sirkular ekonomi bagi mereka,” ungkap Alfian.

Selain itu, stigma negatif terhadap pemulung perlu diubah. Narasi yang memandang profesi pemulung sebagai pahlawan yang berkontribusi menyelesaikan masalah sampah harus terus digalakkan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top