Jakarta (Greeners) – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) membuka Konferensi Tenurial Internasional, pada Rabu (25/10) di Istana Negara, sekaligus menyerahkan 11 SK Hutan Adat untuk 9 komunitas adat. Mengutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jokowi mengatakan bahwa semangat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial adalah bagaimana lahan dan hutan yang merupakan bagian dari sumber daya alam Indonesia dapat diakses oleh rakyat dan dapat menghadirkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat.
Jokowi menuturkan, pemerintah Indonesia akan tetap komit menjalankan reforma agraria melalui program Perhutanan Sosial dengan target seluas 12,7 juta hektar dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 9 juta hektar. Konferensi Internasional Tenurial 2017 di Jakarta diharapkannya dapat menghasilkan peta jalan yang berperan mempercepat upaya mengatasi ketimpangan ekonomi akibat metode pembangunan yang selama ini terjadi.
“Pemerintah menargetkan alokasi untuk perhutanan sosial 12,7 juta hektar. Intinya adalah untuk kelompok-kelompok non-elit, dan mereka yang membutuhkan akses dan keadilan ekonomi sehingga ketimpangan dan kesenjangan bisa kita tekan,” tegas Jokowi, Jakarta, Rabu (25/10).
BACA JUGA: KLHK Bentuk Pokja Percepatan Perhutanan Sosial
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Siti Nurbaya mengatakan dari target 12,7 juta Ha yang dicita-citakan Nawacita untuk periode 2015 – 2019 secara realistis dapat diproyeksikan target realistisnya hingga tahun 2019 seluas 4,38 juta Ha. “Hingga saat ini telah direalisasikan alokasi lahan bagi masyarakat seluas 1,08 juta Ha, diantaranya 509.565,67 Ha berupa Hutan Desa dan Hutan Adat,” tambahnya.
Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2017 yang juga merupakan Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, Noer Fauzi Rachman, mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan hak-hak rakyat atas tanah dan memperbesar kemampuan rakyat memperoleh akses pada sumber daya di kawasan hutan negara. Diperlukan partisipasi masyarakat yang langsung, luas dan aktif dengan wadah dan tata cara yang cocok sehingga tidak bergantung pada kualitas keberpihakan pejabat pemerintah, baik pusat dan daerah.
“Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria, dan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial adalah alat pemerintah dalam bentuk SK Menteri LHK yang harus disambut dengan pembentukan cara-cara baru dari pemerintah daerah,” kata Noer.
Cara-cara tersebut, lanjutnya, antara lain dengan mengorganisir desa, masyarakat adat dan lokal lainnya untuk identifikasi, pemetaan dan pengusulan dari bawah. Organisasi rakyat berupa serikat petani, kelompok tani hutan, komunitas masyarakat adat, kelompok penggarap tanah, masyarakat transmigrasi dan kelompok masyakarat miskin desa dan kota dapat memprakarsai untuk bekerja memasuki “pintu-pintu” yang dibuka pemerintah. Mereka dapat memasukkan usulan sesuai dengan aspirasi dan kemampuan dari rakyat yang diorganisirnya.
“Legalitas, redistribusi tanah, serta perhutanan sosial bukan hanya pengurusan legalitas hak dan perolehan izin. Hal ini adalah suatu permulaan dan merupakan landasan untuk tata guna tanah berkelanjutan, serta sistem produksi yang mampu membuat rakyat menjadi lebih baik kondisi ekonomi dan ekologinya,” jelasnya lagi.
BACA JUGA: PT RAPP akan Patuhi Perintah KLHK untuk Merevisi RKU
Penyelenggaraan Konferensi Tenurial 2017 diharapkan memberikan hasil nyata berupa rumusan Peta Jalan yang akan memandu Pemerintah/Pemerintah Daerah, masyarakat sipil dan para pelaku usaha dalam mendukung program-program reformasi penguasaan lahan dan pengelolaan hutan yang memberikan ruang dan peran yang lebih besar kepada rakyat. “Peta jalan tersebut merupakan satu panduan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang selama ini ada akibat metode pembangunan yang mengedepankan korporasi skala besar,” tutupnya.
Sebagai informasi, Konferensi Tenurial yang digagas oleh Koalisi Masyarakat Sipil (44 lembaga) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kantor Staf Presiden (KSP) ini akan berlangsung selama tiga hari, pada 25 – 27 Oktober 2017. Konferensi Tenurial 2017 dihadiri setidaknya 500 orang peserta dan 90 orang narasumber dalam dan luar negeri, yang akan membahas 11 tema kunci.
Sebelas tema kunci ini yaitu (1) Percepatan Pencapaian Target Perhutanan Sosial; (2) Percepatan Reforma Agraria untuk Mengatasi Ketimpangan Struktur Agraria dan Kesenjangan Ekonomi; (3) Pengakuan Hutan Adat untuk Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Pendistribusian Manfaat; (4) Pengakuan Hak Tenurial dalam Penanganan Perubahan Iklim; (5) Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi: Pengakuan dan Peran Masyarakat dan Komunitas Lokal.
(6) Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Penegakan Hukum; (7) Konflik Tenurial dan Pilihan Penyelesaian Konflik; (8) Ragam Tenurial untuk Melindungi, Mengelola, dan Memulihkan Gambut; (9) Pengembangan Ekonomi Berbasis Masyarakat Melalui Ragam Inovasi dan Investasi UMKM Kehutanan; (10) Peran Swasta dalam Menghormati Hak Tenurial dan HAM; (11) Ragam Persoalan Tenurial di Kawasan Hutan Lindung dan Taman Hutan Raya, demikian diinfokan oleh Apik Karyana sebagai ketua panitia pelaksana konferensi.
Penulis: Danny Kosasih