Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo telah menandatangani Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Inpres tersebut tentunya sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung. Serta, upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
“Penghentian pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, serta areal penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian lzin Baru,” sebagaimana tertulis dalam diktum KESATU Inpres tersebut.
BACA JUGA : Tiga Tahun Berjalan, BRG Memulihkan 922.161 Hektare Lahan Gambut
Secara khusus Presiden menginstruksikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan penerbitan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa atau tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi berdasarkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
Namun, Inpres Nomor 5 Tahun 2019 ini pun tak luput dari beberapa catatan yang disampaikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) dan Yayasan Madani Berkelanjutan.
Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Pemerintah Indonesia menekankan efektivitas kebijakan moratorium hutan dalam menurunkan deforestasi. Menurut pemerintah, deforestasi Indonesia menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB.
“Faktanya, selama delapan tahun sejak kebijakan ini diberlakukan pada tahun 2011 hingga dipermanenkan pada tahun 2019, sama sekali tidak ada penguatan dalam hal cakupan dan tingkat perlindungan terhadap hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa” ujarnya pada rilis resminya, Rabu (21/08/2019).
Fakta lainnya yang Madani temukan, wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi, yang termuat dalam PIPPIB, tidak turut dipermanenkan dikarenakan akan di revisi setiap 6 bulan. Selama periode 2011-2019 pelaksanaan Inpres telah terjadi pengurangan seluas 3 juta hektar tanpa penjelasan secara utuh dan pada PIPIB revisi 15, terdapat 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang izinnya tumpang tindih yang tersebar di 8 Provinsi, yakni Gorontalo, Papua, Papua Barat, Kalbar, Kepulauan Riau, Sumbar, Sumsel, dan Riau dengan luas mencapai 1 juta hektare.
Sedangkan WALHI, dalam rilis resminya dalam menanggapi Inpres 5/2019 ini, membuat beberapa masukan untuk menutup celah kebijakan moratorium, pertama dengan membuat hukum yang jelas bagi korporasi melalui audit perizinan seluruh industri/usaha berbasis lahan skala besar.
BACA JUGA : KLHK Dorong Perusahaan Perkebunan di Lahan Gambut Menata Pengelolaan Air
Kedua, mempercepat pelaksanaan Kebijakan Pemerataan Ekonomi, melalui pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan tanah antara usaha skala besar dengan rakyat dan petani miskin.
Ketiga, mendorong ekosistem rawa gambut yang sudah mendapatkan izin usaha tetapi belum ada kegiatannya segera diambil alih oleh negara, sebagai langkah perlindungan dan penyelamatan ekosistem rawa gambut.
Keempat, melakukan perbaikan tata kelola perkebunan skala besar di Indonesia disertai dengan rencana aksi dan indikator capaian yang terukur, mencakup: (a)Membentuk Tim Independen untuk melakukan audit perizinan dan merekomedasikan pencabutan atau penciutan izin-izin perkebunan yang melanggar hukum, (b)Penguatan kerangka regulasi perkebunan kelapa sawit dan sinkronisasi dengan regulasi sektor lainnya (kehutanan, pertambangan, penataan ruang, dan lain-lain).
Penulis: Dewi Purningsih