Jakarta (Greeners) – East Java Ecotourism Forum (Ejef) menilai pemerintah daerah dan pusat belum sepaham memaknai konsep wisata berkelanjutan yakni ekowisata. Pemerintah daerah masih berorientasi pada kuantitas wisatawan untuk mengejar pendapatan asli daerah.
Ketua Ejef Agus Wiyono mengatakan, perlu penyelarasan pemahaman arah pembangunan wisata berkelanjutan atau sustainability tourism development (STD) antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini menyusul pergeseran tren minat wisatawan yang mengarah pada green life style.
“Ada kesenjangan yang begitu besar soal pemahaman pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat sudah memahami arah STD sebagai quality tourism, tapi daerah masih berselera quantity tourism,” katanya kepada Greeners, Kamis (13/7).
Lebih jauh Agus menyebut, pemerintah daerah masih kerap gagal paham terkait konsep STD dan ekowisata karena kesadaran kolektif yang masih rendah. “Banyak yang memaknai ekowisata sebagai ekonomi wisata dan hanya berbicara tentang ekonomi,” imbuh dia.
Agus melihat tren saat ini banyak desa-desa yang tiba-tiba membangun desa wisata. Ia menyebutnya ‘latah tourism’ bukan untuk tujuan ekowisata dengan pertimbangan menjaga alam. Namun, lebih kepada termotivasi karena pendapatan asli daerah semata.
Ekowisata Prioritaskan Kualitas
Pernyataan Agus ini menanggapi inisiasi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno yang akan mengarahkan destinasi-destinasi di Indonesia menuju ekowisata. Hal ini sebagai bentuk komitmen pemerintah yang berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di ASEAN yang memiliki komitmen ‘net zero’ di sektor pariwisata.
Sandiaga melihat tren kunjungan wisata yang cenderung mencari pengalaman dan kenangan. Ia menyebutnya dengan “quality and sustainable tourism” atau pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, ia menyebut bahwa sekitar 90 persen wisatawan yang datang ke Bali tertarik dengan ecotourism atau wisata ramah lingkungan. Sementara, 86 persen di antaranya bersedia melakukan kegiatan mengimbangi jejak karbon.
Mengacu data yang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) peroleh dari riset booking.com, data tersebut merupakan pasar besar. Oleh karena itu, Kemenparekraf akan menyiapkan paket-paket khusus untuk ekowisata dengan bantuan platform digital guna menggaet wisatawan.
Dari riset tersebut, hampir 29.000 responden dari 30 negara menjalin kerja sama antara Kemenparekraf dengan platform penghitung jejak karbon, Jejak In.
Kemenparekraf Luncurkan Program Baru
Terkait ekowisata, Sandiaga juga meluncurkan program “Towards Climate Positive Tourism Through Decarbonization and Ecotourism” atau upaya menuju iklim pariwisata yang positif melalui dekarbonisasi dan ekowisata.
“Ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri. Kalau kita bergerak maka akan ada dampak kepada ekosistem. Untuk itu, kita harus melakukan suatu hal yang lebih dari wacana, yaitu lebih ke arah kolaborasi dan aksi,” ungkap Sandiaga.
Sementara itu Jejak In sebagai pihak penyedia jasa yang mampu menghitung emisi karbon melalui “carbon footprint calculator” (kalkulator penghitung jejak karbon).
Untuk mendukung program ekowisata itu, Sandiaga meresmikan lima destinasi wisata. Destinasi itu yakni Plataran Menjangan di Taman Nasional Bali Barat, Mangrove Tembudan Berseri Berau di Kalimantan Timur.
Adapula Pantai 3 Warna (Clungup Mangrove Conservation) di Malang, Bukit Peramun di Bangka Belitung dan Taman Wisata Mangrove Klawalu di Sorong.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin