Jakarta (Greeners) – Pemerintah tengah melatih tiga puluh Apratur Sipil Negara (ASN) sebagai negosiator bidang perubahan iklim. Para ASN ini berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Para negosiator bidang perubahan iklim berperan penting dalam menegosiasikan kepentingan bangsa terkait krisis iklim di tingkat global.
Menteri Lingkungan Hidup Periode 1993-1998, Sarwono Kusumaatmadja, menekankan pentingnya para negosiator perubahan iklim untuk menguasai pendekatan sains. Pasalnya sains dapat membuat informasi terkait iklim jadi rasional. Dengan begitu, semua pihak bisa mengetahui informasi tersebut.
“Jika tidak, (informasi iklim) akan rumit dan berkepanjangan. Sehingga konsekuensinya akan melahirkan peristiwa irasional. Sains berperan merasionalkan dan mencari solusinya,” ujar Sarwono dalam webinar bertema Sains di Balik Negosiasi Perubahan Iklim, Rabu (4/11/2020).
Gerakan Penanganan Perubahan Iklim Harus Berbasis Sains
Menggema Sarwono, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Ruandha A. Sugardhiman, menyampaikan para negosiator perubahan iklim harus terus memperbaharui informasi, baik terkait iklim maupun pendekatan sains. Pasalnya, kebijakan pengendalian perubahan iklim di tingkat internasional berdinamika dengan cepat. Menurutnya, para negosiator dengan pemahaman sains merupakan kekuatan bagi Indonesia dalam menangani keberlanjutan perubahan iklim.
Ruandha menambahkan, pemerintah melatih tiga puluh ASN untuk menjadi negosiator mulai dari tanggal 2 November hingga 6 November 2020. Adapun, pemerintah mendesain pelatihan atas tiga tingkatan, yaitu tingkat pemula, lanjutan, dan mahir. Para ASN yang terlibat, lanjut dia, merupakan ASN muda sehingga bisa jadi regenerasi para negosiator yang ada di Indonesia.
“Sehingga Indonesia punya layer-layer (negosiator) yang handal sedini mungkin. Pelatihan ini membekali mereka sehingga bisa berdiskusi lebih nyaman lagi untuk negosiasi kepentingan nasional baik resmi maupun side event,” imbuhnya.
Ruandha memastikan ada proses timbal balik dari komunitas sains dengan kebijakan iklim. Menurutnya, saat ini cukup banyak peneliti Indonesia yang telah terlibat dalam forum-forum internasional terkait iklim seperti Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang merupakan bagian dari Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Dia berharap para peneliti yang terlibat mampu merumuskan kebijakan perubahan iklim di tingkat global sebagai masukan bagi kebijakan di tingkat nasional.
“Sebelum membuat kebijakan, kami meminta masukan dalam komunitas ilmiah baik dalam naskah akdemik dan contoh lainnya. Komunitas ilmiah harus mempublikasikan agar bisa didengar masyarakat internasional,” jelasnya.
Baca juga: Presiden Tegaskan Program Perhutanan Sosial Bukan Sekedar Pemberian SK
Negosiator Diharapkan Memberikan Ide dan Terobosan
Lebih jauh, Ruandha menjelaskan pelatihan negosiator menerapkan metode e-learning management system, yakni metode pembelajaran interaktif secara daring. Menurutnya, metode tersebut memungkinkan pelibatan jumlah peserta lebih banyak. Peserta pun dapat mengikuti pembelajaran di berbagai lokasi tanpa ada hambatan waktu, sesuai dengan tingkat kemampuan dan kondisi peserta. Metode ini juga memudahkan pemutakhiran materi secara cepat dan mempertahankan standar mutu pelatihan.
“Arahan pada kami jelas, yakni kerja sama mengatasi mengatasi isu keberlangsungan dan regenerasi negosiator perubahan iklim. Program dikembangkan agar generasi muda ASN bisa mewakili Indonesia untuk kepentingan di tingkat global,” jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri LHK, Alue Dohong menjelaskan pentingnya program peningkatan kapasitas negosiator mengingat dinamika politik bidang perubahan iklim di tingkat internasional. Untuk itu, penguatan kapasitas ASN menjadi negosiator dalam perundingan internasional menjadi syarat yang wajib dimiliki Indonesia.
Alue berharap negosiator Tanah Air dapat menjadi pemain utama dalam menghadapi perundingan internasional terkait perubahan iklim. Dia juga menginginkan para negosiator Indonesia tidak hanya sebagai pengikut, tetapi juga berkontribusi dengan ide serta terobosan.
“Saya melihat pelatihan negosiator ini sangat penting karena dengan kemampuan dan informasi saja tidak cukup, tetapi juga harus mempunyai scientific based skills,” katanya dalam pembukaan pelatihan negosiator perubahan iklim, Selasa (3/11).
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi